Rabu, 05 April 2023

PUASA BERDAMPAK BESAR MEMBENTUK PRIBADI YANG HUMANIS


PUASA BERDAMPAK BESAR MEMBENTUK PRIBADI YANG HUMANIS
Oleh: Edi Saputra, S.PdI




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ  

       Humanisme adalah sikap hidup yang demokratis dan etika yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak serta tanggung jawab untuk memberikan makna serta kedamaian bagi kehidupan.

Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia.

Humanis adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan kedamaian.

       Bulan Ramadhan merupakan bulan pendidikan bagi kita yang didalamya terdapat berbagai nilai-nilai spiritual bagi jasmani dan rohani kita.

Ketika kita berpuasa sedang merasakan haus dan lapar disiang hari, maka paling tidak kita pun ikut dilatih untuk merasakan penderitaan terhadap saudara-saudara kita yang kelaparan.
Mereka berpuasa tidak hanya dibulan ramadhan, namun di bulan lain, bahkan setiap hari mereka berpuasa, bahkan mereka tak tahu, mereka mau makan apa ketika berbuka nanti.

Maka dari itu, dari kita berpuasa diharapkan bisa melahirkan dan melatih  kepekaan sosial terhadap sesama manusia melalui  perasaaan empatik yang dirangsang melalui ibadah puasa. Sehingga melalui ibadah puasa, diharapkan bagi kita yang memiliki kemampuan rezeki yang luas, mau membagi sebahagian rezekinya kepada fakir miskin ataupun mereka yang hidup serba kekurangan.
Itulah keutamaan puasa yang kita kerjakan memiliki dimensi sosial yang tinggi.

       Puasa menjadi jalan humanistik, karena berpuasa terkait hubungan dengan manusia. Bagi orang yang berpuasa rasa kemanusiaannya diperbanyak dengan amalan-amalan kemanusiaan. Ia bisa menghargai dan menghormati, menjalankan perbuatan kebaikan dengan sesama. Begitu juga saling berbagi dalam suka dan duka.

Pelajaran yang sangat berharga dalam berpuasa adalah melatih kita merasakan bagaimana posisi dan keadaan orang-orang yang sering kehausan dan kelaparan. 

Dengan merasa seperti itu, diharapkan kita menjadi sensitif terhadap persoalan-persoalan yang sering dihadapi orang miskin dengan ringan tangan membantunya.   Sehingga, dengan puasa yang dilaluinya timbul cinta kasih kepada sesama manusia. 

Kita merasakan tidak makan dan minum saja dari waktu yang telah ditentukan tersebut saja betapa terasa lapar dan dahaga, letih, lemas, dan kurang bertenaga.
Bagaimana dengan saudara kita yang memiliki keterbelakangan ekonomi tidak makan dan minum hampir setiap hari, boleh jadi ada yang lebih dari satu, dua, dan tiga hari atau bahkan ada yang berminggu-minggu lamanya? 

       Puasa adalah ritual keagamaan yang penuh makna yang bernuansa humanis/kemanusiaan. Ibadah puasa kian bermakna jika dilaksanakan dengan disertai pemahaman akan hikmah di dalamnya bahkan dengan sukarela membantu terhadap sesama dengan berlomba-lomba dalam kebaikan dan bersedekah. 

Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya oleh salah seorang sahabat:
“ya Rasulullah perbuatan apa yang sangat mulia (dilakukan oleh manusia)? Rasul menjawab: “Berbuat kebajikan atau bersedekah pada bulan Romadhan”. (HR. Bukhori).  

Sebab, pada bulan ini amal kebajikan termasuk sedekah akan dilipat gandakan oleh Allah sepuluh kali lipat (QS. Al-An’am: 160) bahkan sampai lebih yaitu tujuh ratus kali lipat pahala yang diperolehnya (QS. Al-Baqarah : 261):

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Maṡalullażīna yunfiqụna amwālahum fī sabīlillāhi kamaṡali ḥabbatin ambatat sab'a sanābila fī kulli sumbulatim mi`atu ḥabbah, wallāhu yuḍā'ifu limay yasyā`, wallāhu wāsi'un 'alīm 

Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surat Al-Baqarah Ayat 261)

       Islam adalah agama yang humanis, memperhatikan masalah sosial. Hal ini dapat juga dicermati bagaimana saat kita beribadah shalat yang diakhiri dengan salam (tengok kanan dan ke kiri ). 
Inipun boleh jadi sebagai simbol disamping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, agar kita selalu mengingat, memperhatikan dan membantu meringankan beban kesulitan ekonomi saudara kita yang ada disamping kanan dan samping kiri kita.  

Allah Swt telah berjanji akan memasukkan mereka (yang meringankan beban saudaranya dengan bersedekah/berzakat) ke dalam syurga firdaus yang kekal di dalamnya (QS. Al-mu’minun: 10-11). 
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ ۙ
(ulā`ika humul-wāriṡụn)

"Mereka itulah orang yang akan mewarisi"

الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
(allażīna yariṡụnal-firdaụs, hum fīhā khālidụn)

"(yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya"

       Hakikat Islam adalah sebagai agama rahmatan lil’alamin bagi seluruh makhluk yang menghuni semesta ini, termasuk juga manusia adalah hubungan kausalitas yang tak terputus.
Bentuk rahmat dan kesejahteraan yang dilimpahkan Allah itu sangatlah beragam, dari yang konkrit hingga yang paling abstrak sekalipun. 

Dan kesemuanya itu saling terhubung dan bersinergi satu sama lain. Karena dalam rantai kehidupan, satu dan yang lain pastilah saling membutuhkan.

Sementara itu, konsep rahmatan lil’alamin yang bersifat abstrak diejawantahkan dalam wujud kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia.
Menjadi makhluk yang seutuhnya, demi manusia dan kemanusiaannya, atau yang dalam bahasa kontemporer lebih populer dengan nama ‘humanisme’.

       Lalu, apakah konsep kemerdekaan dan kebebasannya humanisme ini bisa diimplementasikan dalam konteks bulan Ramadhan, yang bila dilihat secara harfiah justru tampak ‘mengekang’?

Spirit humanisme dalam perspektif barat jelas sangat kontradiktif dengan humanisme yang diusung dalam ibadah puasa Ramadhan.
Esensi dari humanisme barat adalah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya bagi manusia untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Jadi, bisa dikatakan bahwa humanisme barat hendak ‘menuhankan’ manusia sendiri dan ‘membunuh’ Tuhan dengan kemanusiaannya.

Humanisme barat berpusat dan berorientasi pada manusia itu sendiri (antroposentris) dan menafikan eksistensi Tuhan. Namun ironisnya, atas nama kebebasan pula, mereka mengabaikan Tuhan serta perintah dan larangan (aturan-aturan)-nya, tapi lebih memilih tunduk kepada regulasi-regulasi pemerintah tempat mereka berdomisili yang hakikatnya dipimpin oleh manusia.

Sementara spirit humanisme Ramadhan adalah sebuah kesatuan universalitas yang utuh dan menyeluruh. Humanisme dalam perspektif Ramadhan berpusat dan berorientasi langsung kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta (teosentris), yaitu Allah. 
Manusia diberikan kebebasan dan kemerdekaan atas nama manusia dan kemanusiaannya, namun ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar dalam kapasitas manusia sebagai Hamba Allah.

Konsep humanisme ini memiliki kuota yang proporsional antara hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) atau teosentris dengan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas) atau antoposentris.
Dan puasa sebagai ibadah rahasia antara manusia dengan Rabb-nya, juga menyisipkan pesat tersirat untuk berbuat amal dan kebajikan terhadap sesama manusia.

       Konsep humanisme dalam Ramadhan jauh lebih sakral dan lebih ‘humanis’ dari humanisme itu sendiri.
Jika humanisme dalam konteks barat hanya memandang kebebasan bersifat individualistik, humanisme Ramadhan melihat hal tersebut secara lebih kompleks, total dan menyeluruh.
Ia merupakan praktik pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kolektivistik, bukan hanya pada satu individu semata.

Inti dari ibadah berpuasa di bulan Ramadhan adalah bagaimana kita memahami orang lain dengan turut merasakan apa yang dirasakan orang lain tersebut. Orang lain yang dimaksud tersebut tak lain adalah umat manusia di seluruh dunia yang tak seberuntung kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Inilah bentuk empati yang sebenarnya, di mana kita diberikan kesempatan langsung untuk merasakan apa yang mereka rasakan.

Begitulah bentuk humanisme kolektivistik umat muslim dalam momentum Ramadhan. Di mana manusia dan kemanusiaannya itu tidak hanya dipandang dari level individualistik semata, namun merupakan kesatuan utuh yang saling melengkapi, yang merasakan setiap kesakitan yang dirasakan saudara-saudaranya; kesatuan umat Islam memberikan kedamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itulah, spirit ini disebut sebagai humanisme yang menyeluruh (kaffah).

       Dengan memahami Ramadhan sebagai ladang amal transedental dan humanistik, maka hal ini akan membuka perspektif baru bagi kita semua.

Ramadhan bukan hanya sekadar ritus semata, namun lebih jauh lagi sebagai suatu wujud kesadaran, media transformasi, semangat pembebasan dan landasan kritis untuk menjauhi kekufuran, memerangi kemiskinan struktural dan mencarikan solusi atas kesenjangan sosial yang kian kentara dalam masyarakat.

Kita harus bisa mengevaluasi makna humanisme Ramadhan ini, baik sebagai ibadah yang dipersembahkan untuk Allah maupun sebagai medium sosial untuk kemaslahatan bersama; kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.

       Kemajuan teknologi dan pengetahuan adalah contoh dampak positif humanisme yang mengajarkan tentang kebebasan manusia dalam bertindak. Humanisme menekankan harkat, peran, dan tanggungjawab manusia. 
Menurut humanisme, manusia mempunyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainnya karena mempunyai rohani.

Namun, apakah semua penerapan ilmu manusia ini sudah baik? Pada tahun 1942, Adolf hither telah membunuh jutaan orang yahudi pada peristiwa Holocaust.

Tidak berhenti sampai disitu, pada abad ke-20, manusia yang bergerak dengan nafsu mulai menghancurkan bumi dan mengabaikan hak orang lain untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.

Fanatisme, kekerasan, dan keserakahan menimbulakan perpecahan. Lalu, adakah cara sederhana untuk menghentikan ini semua? Ya, berpuasalah sebulan penuh berturut-turut di Bulan Ramadhan.

       Orang-orang pasti memandang tidak masuk akal apabila bulan Ramadhan dikaitkan dengan dengan humanisme. Kebanyakan orang hanya berpuasa dari makan dan minum di siang hari tanpa mengetahui apa sebenarnya hikmah puasa Ramadhan. sehingga setelah Ramadhan berakhir, tidak ada perubahan perilaku dan gaya hidup mereka.

Bahkan fenomena yang sering terjadi saat ini adalah perilaku boros yang semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan, terutama menjelang Idul Fitri. 

Lalu, apakah hikmah puasa Ramadhan yang sebenarnya?

- Pertama, puasa merupakan ungkapan rasa syukur atas berbagai nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan bersyukur, seorang dapat menahan nafsu dan sifat rakus dalam dirinya.

Seorang yang bersyukur akan selalu merasa bahagia terhadap apa yang dimilikinya, meskipun dalam jumlah sedikit.
Rasa cukup tersebutlah yang akan menahan hati untuk tidak bersifat sekarah dan apatis.

- Hikmah puasa selanjutnya adalah melatih diri dalam mengendalikan nafsu syahwat. Dalam keadaan lapar, berbagai nafsu bisa ditekan. Pengendalian hawa nafsu yang dilakukan secara konsisten diharapkan dapat menjadikan setiap pribadi sadar bahwa bertindak sesuai nafsu adalah salah.

- Ketiga, puasa akan menyadarkan kita akan penderitaan orang-orang miskin. Saat berpuasa, seorang merasakan lapar dan dahaga, sebagaimana yang sering dirasakan oleh orang miskin. Kembali ke humanisme yang mengatakan bahwa manusia pasti memiliki sifat empati.

Apakah masih tega, seorang pejabat untuk korupsi? Apakah pengusaha tambang akan semakin serakah, dengan pertambangannya yang merusak kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan? Tentu saja tidak, bila Ia merasakan hikmah puasa yang dijalaninya.

       Kesimpulannya, puasa Ramadhan bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus saja. Puasa juga memiliki banyak manfaat bagi jasmani maupun rohani kita. Selain menjadikan tubuh semakin sehat, Bulan Ramadhan adalah waktu terbaik bagi kita untuk mulai membentuk diri menjadi manusia yang baik.

Perilaku baik yang konsisten dapat menjadi kebiasaan yang dapat membentuk karakter manusia yang sebenarnya, yaitu bertanggungjawab, peduli, empati, serta toleransi.
Dengan karakter yang baik, maka penyimpangan humanisme dapat hilang sedikit demi sedikit.

       Pada hakikatnya, Ramadhan adalah bulan perbaikan kualitas ruh dan hati manusia. Karena itu, disamping membangun hubungan vertikal kepada Tuhan dengan memperbanyak baca al-Qur’an, dzikir, dan shalat tarawih, Rasulullah mengajarkan pentingnya meningkatkan hubungan horizontal kepada sesama manusia. 

Karena itu, Rasulullah Saw mengajarkan selama puasa, lidah hendaknya menjauhi kata kotor, bohong dan sumpah palsu. Telinga berhenti mendengar gosip, fitnah, tapi dilatih peka mendengar tangis fakir miskin. Mata berhenti melihat yang munkar, tapi jeli melihat saat ada tetangga, saudara yang perlu bantuan. Tangan dan kaki bergerak lebih tangkas melakukan amal kebajikan, membantu siapa saja yang membutuhkan tanpa melihat identitas suku, ras dan agamanya.

Puasa menawarkan humanisme dan kemanusiaan untuk menjaga, memperkuat kohesivitas sosial, persaudaraan sesama umat manusia. 

Dengan puasa, seseorang dapat memahami kesulitan fakir miskin yang sehari-harinya diliputi rasa lapar dan haus. Setelah itu, diharapkan muncul semangat, usaha untuk meringankan beban dan membantu hidup mereka lebih baik.

Mengingat nasib kelaparan orang-orang yang kekurangan, kesusahan hidup adalah salah satu rahasia puasa. 

Seseorang yang tumbuh dalam kenikmatan dan kemewahan mungkin tidak mengenal pedihnya menahan lapar dan haus. Karena itulah, Tuhan mensyariatkan puasa agar hati manusia jadi lunak, mau memberi dan mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan. 

Inilah mengapa, amal kebajikan yang direkomendasikan Rasulullah adalah memperbanyak sedekah. Rasulullah menjadikan Ramadhan sebagai bulan kedermawanan. 
Beliau adalah seorang yang dermawan, dan semakin murah hati dan berbelas kasih kepada fakir-miskin saat Ramadhan.

Dengan menjadi pribadi dermawan, kita membantu menghilangkan penderitaan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

Agama Islam mengajarkan pentingnya kemanusiaan, membantu orang lain dengan penuh cita kasih. 

       Humanisme dan kedermawanan merupakan pintu datangnya rahmat dan kasih sayang Tuhan.
Tuhan akan mengasihi manusia yang cinta kasih terhadap sesamanya. Siapa yang menolong orang lain, Tuhan pun akan memberinya pertolongan di kesempatan lain. 

       Akhirul kalam, dengan Ramadhan kita menahan hawa nafsu dan memenangkan, merayakan kemanusiaan. 
Mudah-mudahan dengan berperilaku menebarkan kasih sayang dan kemanusiaan itu, kita mampu keluar dari Ramadhan dalam keadaan bersih, suci dan memperoleh ampunan Ilahi. Aamiin...

Wassalamu'alaikum.Wr.Wb.


LIHAT JUGA:

LIHAT JUGA: 




LIHAT JUGA:




Lihat Juga:

LIHAT JUGA:

TERBARU 🛑CARA MEMPERBAIKI DATA PADA SIMPATIKA

CARA MENDAFTAR PPG SERTIFIKASI GURU

TIPS MENDIDIK ANAK MENURUT SUNNAH OLEH HABIB NOVEL

CARA SUNNAH MINUM AIR DAN MANFAATNYA



LIHAT JUGA:

ANK SUPIR ANGKOT JADI POLISI TERBAIK

ANAK TUKANG GORENGAN JADI TENTARA TNI

🛑DAHSYATNYA DOA SEORANG IBU


LIHAT JUGA:

SOSIALISASI UP BAGI GURU SETTIFIKASI PPG DALJAB

SOSIALISASI PRE TEST PPG DALAM JABATAN

♦️AMALAN DALAM ADZAN HABIB SYECH

📌TATA CARA WUDHU 


LIHAT JUGA:

DOA YANG AKAN MEMBUAT KITA DIKEJAR REJEKI8

FILOSOFI DIBALIK LOGO KEMERDEKAAN RI TAHUN 2022

DO'A MAKNA SESUNGGUHNYA


LIHAT JUGA

BEASISWA GURU PAI DAN KEAGAMAAN

CARA REGISTRASI DAFTAR PELATIHAN DIWEB PINTAR KEMENAG

CARA MUDAH CEPAT CETAK KARTU ASN BKN






LIHAT JUGA:

Jangan Lupa juga untuk bergabung digroup:

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2 Klik disini

WhatsApp #SahabatRA/MadrasahIndonesia Klik Disini

WhatsApp #SahabatGURU Klik disini

Telegram #1 Klik disini

Mohon dengan IKHLAS untuk Klik LIKE, SHARE dan SUBSCRIBE Channel Youtube. Silahkan kunjungi KLIK DISINI

Terima Kasih atas kunjungannya, mohon doa' agar kami sekeluarga diberikan kesehatan dan blog ini terus berkembang serta berguna bagi semua orang. 

Memberi manfa'at baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin

PUASA DARI SUDUT PANDANG SUFISTIK (TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI)


PUASA DARI SUDUT PANDANG SUFISTIK (TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI)
Oleh: Edi Saputra, S.PdI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

       Selama ini banyak orang yang berpuasa tetapi tidak berbekas. Sebab, mereka tidak memenuhi kriteria puasa secara sufistik. Apa saja kriteria puasa secara sufistik itu?

Pertama-tama, ibadah apapun bagi pejalan Spiritual atau kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.

- Tahlil secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. 

Yang dimaksud dosa lahir di sini adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. 

Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta, menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.

- Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. 
Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. 
Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. 

Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.

- Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, "bahkan bersatu dengan-Nya".

       Dalam pandangan pejalan Spiritual atau kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. 

Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu sebermulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. 

Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.

       Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.

Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. 

Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsu seksual saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli .

Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. 

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. 

Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. 

Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”

       Puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.

Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. 

Atau dalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik (produktif).

       Orang taqwa juga selalu menegakkan salat dalam arti selalu memenuhi aktifitas hidup dan jiwanya dengan berbagai macam ibadat, membaca ayat Allah, zikir, doa dan amal saleh lainnya baik berupa lahir maupun batin. 

Orang yang menegakkan shalat juga selalu terhindar dari segala macam dosa dan maksia, karena salat akan menjadi penjegah orang taqwa dari segala perbuatan dan akhlak yang keji dan munkar.

Orang taqwa juga bersifat dermawan, memiliki kepekaan atau solidaritas sosial yang tinggi, sehingga ia selalu menolong orang yang lemah, menggunakan segala kekuasaan dan kekayaannya untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, tidak bersifat rakus, tamak, egois dan individualis.

Orang taqwa juga mampu mengendalikan emosi, dia akan tetap berpikir dingin dan jernih meskipun dalam kondisi terjepit atau terpepet; dia akan tetap dapat berbuat adil meskipun terhadap musuh atau orang yang dibencinya. 
Dia juga akan selalu bersifat lapang dada, menerima dan memaafkan kesalahan orang lain meskipun itu sangat menyakitkan.

Orang taqwa juga selalu mawas diri, senantiasa menerima kritikkan orang lain demi kebaikan, karena itu ia selalu berskap inklusif, terbuka dan selalu menghargai pendapat dan informasi orang lain, meskipun hal itu berbeda atau bertentangan dengan pendapatnya.

Orang taqwa juga yakin pada akhirat, dalam arti selalu berorientasi masa depan, tidak mengejar kesenangan dan kebahagiaan sesaat yang menipu, menghargai waktu, selalu bersikap produktif inovatif, hemat dalam menggunakan energi dan fasilitas, tidak bermewah-mewah apalagi memamerkan kekayaan, hidup sederhana.

       Malam Qadr, malam yang ditentukan, malam yang istimewa, yang juga disebut malam penuh berkah itu, dalam terminologi tasawuf digunakan untuk menggambarkan kondisi puncak spiritual Nabi Muhammad SAW, yakni pencapaian tajalli, tersingkapnya hijab atau dinding yang menghalangi beliau dengan Tuhannya. 

Karena itu al-Qur’an menggambarkanya sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. 
Malam di mana Malaikat Jibril mewakili Tuhan bertanazzul ke dalam jiwa Nabi Muhammad, menerima wahyu berupa al-Qur’an, dengan izin Allah, dan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagian sampai terbit fajar.

Rasulullah mencapai tajalli, yang digambarkan dengan lailat al-qadr, setelah beliau menjalani tahapan takhalli dan tajalli dengan tahannuts di gua Hira dan ibadah puasa. 

Malaikat (yang mewakili Allah) bertanazzul pada malam itu, dapat diartikan Nabi Muhammad telah berhasil mendekati Allah, bersanding bahkan bersatu dengan-Nya. 
Segala sifat-sifat atau nilai-nilai ketuhanan telah merasuk atau mengalami internalisasi dalam jiwa Nabi Muhammad. 

Nabi Muhammad juga memperoleh pencerahan berupa wahyu al-Qur’an, sebagai anugerah Allah, yang berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk dalam mengarungi hidup dan kehidupan, yang akan mengantar umat manusia pada kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan; dan akan membawa fajar kehidupan baru yang lebih baik seribu kali lipat dibandingkan kondisi kehidupan umat manusia sebelumnya.

       Orang yang mengikuti langkah Nabi Muhammad bertakhalli dan tahalli dengan ibadah puasa juga akan berhasil mencapai tajalli, memperoleh lailat al-qadr, walaupun kualitasnya tidak sama dengan yang dicapai oleh Nabi Muhammad sendiri. 

Ia bisa mendapat tanazzul, bersanding dan bersatu dengan Tuhan, menyerap sifat-sifat, nilai-nilai dan cahaya ketuhanan; memperoleh pencerahan berupa ilham dan inspirasi kebaikan; memantulkan kembali sifat-sifat dan nilai-nilai ketuhanan dengan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan bagi diri dan masyarakat.

       Pendeknya, orang yang mencapai lailat al-qadr akan mengalami revolusi spiritual, ia memiliki kualitas jiwa yang jauh lebih baik dibandingkan manusia lainnya. 

Namun demikian, kualitas tajalli atau lailat al-qadr yang akan dicapai tiap orang yang berpuasa itu akan berbeda-beda, demikian juga waktu pencapaiannya, tergantung pada intensitas dan kegigihan masing-masing dalam melakukan takhalli dan tahalli dengan atau selama menjalani puasanya itu. 

Karena itu, bisa jadi ada yang berhasil menjumpai lailat al-qadr pada tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadan. 

Inilah yang dimaksud bahwa lailat al-qadr akan datang pada tanggal-tanggal ganjil sepertiga terakhir bulan Ramadan itu.
Semoga artikel ini bermanfaat dan salam Silaturahmi..

Wassalamu'alaikum.Wr.Wb.


LIHAT JUGA:

LIHAT JUGA: 




LIHAT JUGA:




Lihat Juga:

LIHAT JUGA:

TERBARU 🛑CARA MEMPERBAIKI DATA PADA SIMPATIKA

CARA MENDAFTAR PPG SERTIFIKASI GURU

TIPS MENDIDIK ANAK MENURUT SUNNAH OLEH HABIB NOVEL

CARA SUNNAH MINUM AIR DAN MANFAATNYA



LIHAT JUGA:

ANK SUPIR ANGKOT JADI POLISI TERBAIK

ANAK TUKANG GORENGAN JADI TENTARA TNI

🛑DAHSYATNYA DOA SEORANG IBU


LIHAT JUGA:

SOSIALISASI UP BAGI GURU SETTIFIKASI PPG DALJAB

SOSIALISASI PRE TEST PPG DALAM JABATAN

♦️AMALAN DALAM ADZAN HABIB SYECH

📌TATA CARA WUDHU 


LIHAT JUGA:

DOA YANG AKAN MEMBUAT KITA DIKEJAR REJEKI8

FILOSOFI DIBALIK LOGO KEMERDEKAAN RI TAHUN 2022

DO'A MAKNA SESUNGGUHNYA


LIHAT JUGA

BEASISWA GURU PAI DAN KEAGAMAAN

CARA REGISTRASI DAFTAR PELATIHAN DIWEB PINTAR KEMENAG

CARA MUDAH CEPAT CETAK KARTU ASN BKN






LIHAT JUGA:

Jangan Lupa juga untuk bergabung digroup:

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2 Klik disini

WhatsApp #SahabatRA/MadrasahIndonesia Klik Disini

WhatsApp #SahabatGURU Klik disini

Telegram #1 Klik disini

Mohon dengan IKHLAS untuk Klik LIKE, SHARE dan SUBSCRIBE Channel Youtube. Silahkan kunjungi KLIK DISINI

Terima Kasih atas kunjungannya, mohon doa' agar kami sekeluarga diberikan kesehatan dan blog ini terus berkembang serta berguna bagi semua orang. 

Memberi manfa'at baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin

Silaturahmi Daerah – 1Kader Penggerak NU Se-Lampung Barat

Silaturahmi Daerah – 1Kader Penggerak NU Se-Lampung Barat Minggu 27 Oktober 2024 yayasanarraihanbelalau.blogspot.com - Kader Pen...