Senin, 02 Juni 2025

Hukum Panitia Qurban Mendapat Dua Jatah Daging

Hukum Panitia Qurban Mendapat Dua Jatah Daging


Dalam kajian fiqih, salah satu tindakan yang dilarang dalam mengelola daging kurban adalah menyerahkan sebagian daging kurban kepada orang yang menyembelih sebagai upah atas jasa penyembelihannya, karena hal itu dianggap satu makna dengan jual beli daging kurban yang dilarang dalam agama. 

Untuk menyiasati larangan tersebut, sebagian panitia ada yang memberikan jatah daging yang lebih banyak kepada pihak yang menyembelih dan panitia lainnya. Jadi panitia kurban memang tidak mendapatkan bayaran atau upah atas tugas-tugasnya mulai dari penyembelihan hingga pendistribusiannya, namun mereka tetap diuntungkan karena mendapat jatah daging yang lebih banyak dari yang lainnya.diperbolehkan dalam Islam? 

Untuk menanggapi permasalahan ini, ada beberapa poin yang perlu dibahas sebagai berikut:

Pertama, dalam pandangan fiqih, status panitia kurban adalah wakil dari orang yang berkurban dalam penyembelihan dan pembagian daging qurban, sehingga keputusan yang diambil harus mendapat persetujuan dari orang yang berkurban baik secara lisan maupun dari kebiasaan (‘urf), sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab (II/165).

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami jika pemberian jatah lebih kepada panitia sudah mendapat persetujuan atau sudah merupakan kebiasaan, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan dari sudut pandang akad wakalah-nya. Kedua, larangan untuk memberi daging sebagai upah kepada pihak penyembelih ini berlaku jika memang di atas namakan upah sewa, artinya terjadi kesepakatan untuk melakukan pekerjaan dengan adanya pembayaran upah. 

Jika tidak ada kesepakatan apapun, maka pemberian tersebut bukan disebut upah (ujrah). وَلَا أُجْرَةَ) لِعَمَلٍ كَحَلْقِ رَأْسٍ وَخِيَاطَةِ ثَوْبٍ وَقَصَارَتِهِ وَصَبْغِهِ بِصَبْغِ مَالِكِهِ ( بِلَا شَرْطِ ) اْلأُجْرَةِ فَلَوْ دَفَعَ ثَوْبَهُ إِلَى خَيَّاطٍ لِيَخِيْطَ…  فَفَعَلَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدُهُمَا أُجْرَةً وَلَا مَا يُفْهِمُهَا فَلَا أُجْرَةَ لَهُ لِأَنَّهُ مُتَبَرِّعٌ
 Artinya, “(Dan tidak ada upah) untuk pekerjaan seperti mencukur rambut, menjahit baju, mengguntingnya, dan mewarnainya dengan pewarna pemiliknya (tanpa ada syarat) upah. Maka jika seseorang menyerahkan kain bajunya kepada penjahit untuk dijahit … kemudian diapun melakukannya, dan tidak ada satupun di antara mereka yang menyebutkan upah atau apa yang dapat dipahami upah, maka tidak ada upah baginya karena dia orang yang melakukannya dengan cuma-cuma.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1998] halaman 131).

Menerima daging kurban atas nama sedekah jika tergolong fakir miskin, dan atas nama ith’am (pemberian hidangan) dalam kurban sunah, jika tergolong orang yang mampu atau kaya.  Artinya, “Dikecualikan dengan upah, adalah memberikannya dari daging qurban karena fakirnya, dan memberinya makanan dari qurban, jika dia kaya, maka keduanya diperbolehkan.” (Muhammad Mahfudz At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2023] juz VI, halaman 677).

Ketiga, dalam pembagian daging kurban, diperbolehkan untuk memberikannya kepada satu orang miskin saja, tidak ada keharusan untuk membagi rata daging kurban kepada seluruh orang miskin di daerahnya. Sehingga tidak ada larangan untuk memberikan jatah lebih kepada pihak tertentu seperti panitia, hanya saja alangkah baiknya juga mempertimbangkan dampak sosialnya. Artinya “Cukup untuk menyerahkan (daging kurban) kepada satu orang saja dan orang-orang fakir ataupun miskin”  (Khathib As-Syirbini, Al-Iqna’, [Riyadh, Maktabah Al-Haramain, 2013] juz I, halaman 574).

Simpulan Hukum Hukum panitia mendapatkan dua jatah daging qurban adalah diperbolehkan, selama tidak diatasnamakan upah pekerjaan, yakni dapat diatasnamakan sedekah bagi orang miskin atau pemberian hidangan (ith’am) bagi orang yang mampu atau kaya. Wallahu a’lam.


Penulis Edi Saputra, S.Pd.I
https://nu.or.id

TAFSIR SURAH AL-HAJJ AYAT 37: MENYIKAP RAHASIA QURBAN

TAFSIR SURAH AL-HAJJ AYAT 37: MENYIKAP RAHASIA QURBAN


 Surat Al-Hajj ayat 37 mengajarkan tentang makna sejati dari ibadah kurban. Allah menegaskan bahwa daging dan darah hewan kurban secara fisik tidak akan sampai kepada-Nya. Ini menekankan bahwa aspek fisik dari kurban itu sendiri bukanlah tujuan utama dari ibadah ini. Allah tidak memerlukan materi atau benda dari hamba-Nya, tetapi yang Dia perhatikan adalah ketakwaan, keikhlasan, dan kepatuhan yang ada di dalam hati orang yang berkurban.  

Ibadah kurban adalah sarana untuk menguji dan memperkuat ketakwaan, serta menunjukkan ketaatan kita kepada Allah. Daging dan darah hewan kurban hanyalah sarana untuk mengantarkan ketakwaan dan rasa syukur tersebut kepada Allah swt. 

Simak firman Allah dalam Surat al-Hajj ayat 37 berikut; 
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ 

Artinya: "Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin,".

Tafsir Munir Syekh Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir, Jilid XVII, halaman 217 menjelaskan bahwa maksud ayat ke-37 dari Surat al-Hajj
 [لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ  ]

 menegaskan bahwa daging dan darah hewan kurban tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang diterima oleh-Nya adalah ketakwaan dari umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah kurban bukan semata-mata tentang aspek fisik atau material, melainkan tentang niat, keikhlasan, dan ketakwaan yang terkandung di dalamnya. 

Allah SWT mensyariatkan penyembelihan hewan sebagai bentuk pengingat untuk selalu mengingat dan menyebut nama-Nya dalam setiap ibadah dan tindakan. Oleh karena itu, esensi dari ibadah kurban terletak pada niat yang tulus dan ketakwaan yang mengiringi tindakan tersebut. 

Pada masa jahiliyyah, praktik penyembelihan hewan kurban dilakukan dengan cara yang berbeda. Masyarakat pada masa itu menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala mereka, dengan sebagian dagingnya diletakkan di berhala-berhala tersebut dan darahnya digunakan untuk melumuri berhala-berhala itu. 

Ketika kaum Muslimin ingin melakukan hal yang serupa terhadap Ka'bah, Allah swt menurunkan ayat ini untuk meluruskan niat dan cara berkurban yang benar. Ayat ini menjadi penegasan bahwa tujuan dari ibadah kurban adalah untuk menunjukkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah swt, bukan sekadar ritual fisik semata.Allah swt kemudian mengingatkan kembali tentang penundukan binatang ternak untuk manusia, yang merupakan salah satu bentuk nikmat dari-Nya. Pengulangan ini bertujuan untuk menyadarkan manusia akan besarnya nikmat yang diberikan oleh Allah, sehingga mendorong mereka untuk selalu bersyukur dan memuji-Nya. 

Dengan menyadari dan mengingat nikmat-nikmat ini, umat manusia diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dengan penuh kesadaran dan rasa syukur. 

Sementara itu, ayat
 [كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ] 
menegaskan bahwa Allah swt menundukkan hewan-hewan kurban (al-Budn) untuk kepentingan manusia agar mereka dapat mengagungkan Allah dan bersyukur atas petunjuk-Nya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala nikmat dan kemudahan yang diberikan Allah swt bertujuan agar kita selalu mengingat-Nya dan mengucapkan rasa syukur. 

Petunjuk dan bimbingan Allah dalam agama dan syariat-Nya merupakan anugerah besar yang harus kita syukuri dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. [Syekh Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII, [Beirut: Darul Fikr Mu'ashir, 1991],  halaman 217]

Allah swt memberikan petunjuk kepada umat-Nya tentang hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dibenci dan tidak bermanfaat. Dengan petunjuk tersebut, Allah membimbing kita agar selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari kerugian. 

Ketaatan pada syariat Allah adalah bentuk syukur yang paling utama, karena di dalamnya terkandung segala kebaikan dan keberkahan yang Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya.  

Ayat ini juga menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang mendapatkan petunjuk dan berpegang teguh pada jalan yang lurus. Orang-orang yang mengikuti bimbingan Allah akan mendapatkan balasan yang baik di dunia dan akhirat. Mereka yang menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidupnya akan selalu berada dalam lindungan dan rahmat-Nya, sehingga hidup mereka akan dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan. 

Dalam lanjutan ayat ini [وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ], Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang Muhsin, yaitu mereka yang berbuat baik dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. 

Orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah, mematuhi segala perintah-Nya, dan membenarkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, dijanjikan surga sebagai balasan atas kebaikan dan keikhlasan mereka dalam beramal. Berita gembira ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah mereka.

 [Syekh DR. Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII,  [Beirut: Darul Fikr Mu'ashir, 1991], halaman 219]. 
أي إنما شرع الله لكم نحر هذه الهدايا والضحايا، لتذكروه عند ذبحها، ولن يصل إلى الله شيء من لحومها ولا من دمائها، ولكن يصله التقوى والإخلاص، وترفع إليه الأعمال الصالحة. وكان أهل الجاهلية إذا ذبحوها لآلهتهم، وضعوا عليها من لحوم قرابينهم، ونضحوا عليها من دمائها، وأراد المسلمون أن يفعلوا مثلهم، فنزلت الآية: {لَنْ يَنالَ اللهَ لُحُومُها.}. ثم كرر تعالى ذكر تسخير الأنعام وتذليلها للناس؛ لأن في الإعادة تذكيرا بالنعمة، الذي يبعث على شكرها، والثناء على الله من أجلها، والقيام بما يجب لعظمته وكبريائه، 
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada kalian menyembelih hewan kurban dan korban, agar kalian mengingat-Nya ketika menyembelihnya. Dan sekali-kali tidak sampai kepada Allah dagingnya dan darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dan keikhlasan kalian. Dan orang-orang jahiliah dahulu jika mereka menyembelih hewan kurban untuk tuhan-tuhan mereka, mereka meletakkan sebagian daging kurban mereka di atas patung-patung berhala mereka dan menyiramkan darahnya di atasnya. Dan kaum muslimin pun ingin melakukan seperti yang mereka lakukan. Maka turunlah ayat: "Daging hewan-hewan itu sekali-kali tidak sampai kepada Allah." Kemudian Allah mengulangi penyebutan penundukan dan penjinakan hewan ternak untuk manusia; karena dalam pengulangan itu terdapat pengingat akan nikmat, yang mendorong untuk bersyukur atasnya, dan memuji Allah karenanya, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk keagungan dan kebesaran-Nya,". [Syekh DR. Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII,  [Beirut: Darul Fikr Mu'ashir, 1991], halaman 219]. 

Tafsir Marah LabibSyekh Nawawi Banten dalam kitab Tafsir Marah Labib, Jilid II, halaman 73 menjelaskan bahwa daging dan darah hewan kurban tidak memiliki nilai pahala di sisi Allah swt. Hal ini ditegaskan dengan kalimat "لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا" (Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah). 

Lebih lanjut, ayat ini bukan berarti meniadakan ibadah kurban, melainkan menekankan bahwa inti dari kurban adalah ketakwaan dan keikhlasan. Daging dan darah hewan kurban hanyalah simbol dari ketaatan dan ketundukan hamba kepada Allah. Sejatinya, pada isi ayat ini menekankan bahwa inti dari ibadah kurban bukan terletak pada daging hewannya, melainkan pada ketakwaan dan keikhlasan hati sang pekurban. Allah swt tidak membutuhkan daging kurban, melainkan ketulusan dan ketaatan hamba-Nya. 

Daging hewan kurban hanyalah sarana untuk mengantarkan amal shaleh kepada Allah. Amal shaleh yang dimaksud adalah bersedekah dengan daging kurban, mematuhi perintah Allah, memuliakan-Nya, dan mengikhlaskan diri kepada-Nya. 

Dengan demikian, daging kurban menjadi simbol ketaatan dan keikhlasan hamba dalam menjalankan ibadah.
لَنْ يَنالَ اللَّهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَلكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ أي لن يصل إلى الله تعالى أي إلى مرضاته لحوم القرابين ولا دماؤها، ولكن يقبل الله الأعمال الطاهرة منكم فمنها التصديق باللحم: وهو من عمل العبد فيرفع إلى الله وأما نفس اللحم المتصدق به: فلا يرفع إلى الله. والمعنى: إن الله لا يثيبكم على لحمها إلا إذا وقع موقعا من وجوه الخير وهو امتثال أمره تعالى وتعظيمه والإخلاص له تعالى 

Artinya: "Maksudnya, daging dan darah hewan kurban tidak sampai kepada Allah Ta'ala, dan tidak pula bernilai pahala di sisi-Nya. Akan tetapi, Allah menerima amal-amal shaleh dari kalian. Salah satu amal shaleh tersebut adalah bersedekah dengan daging hewan kurban. Daging hewan kurban tersebut merupakan amal perbuatan hamba yang diangkat kepada Allah. Adapun daging hewan kurban itu sendiri tidak diangkat kepada Allah. Maksudnya, Allah tidak membalas pahala kepada kalian atas daging hewan kurban itu, kecuali jika daging tersebut digunakan untuk kebaikan, seperti mematuhi perintah Allah, memuliakan-Nya, dan mengikhlaskan diri kepada-Nya." 
[Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,  1417 H) halaman 73]. 

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami makna di balik ibadah kurban, bukan hanya terpaku pada penyembelihan hewannya. Hendaknya kurban menjadi momen untuk meningkatkan ketakwaan dan keikhlasan diri kepada Allah swt. 
Selanjutnya, Syekh Nawawi juga menjelaskan asbabun nuzul ayat 37 ini, yang berkaitan dengan praktik masyarakat Jahiliyah di sekitar Ka'bah. Pada masa itu, orang-orang musyrik memiliki kebiasaan melumuri daging kurban pada dinding Ka'bah dan mengotori tempat suci tersebut dengan darah hewan kurban sebagai bagian dari ritual keagamaan mereka.ini, mereka merasa bahwa mereka lebih berhak dan berkeinginan untuk melakukan tindakan tersebut sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt. 

Namun, Allah swt menurunkan Surat Al-Hajj ayat 37 untuk meluruskan pemahaman dan tindakan para sahabat. Ayat ini menegaskan bahwa bukan daging maupun darah hewan kurban yang mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari orang-orang yang melakukan kurban tersebut. 

Firman Allah ini memberikan pemahaman bahwa ritual yang berlebihan dan tidak berdasar tidak diterima, dan yang terpenting adalah ketulusan niat serta ketaatan kepada Allah swt. 

Dengan turunnya ayat ini, Allah swt mengajarkan kepada umat Islam bahwa ibadah dan pengorbanan yang diterima di sisi-Nya adalah yang dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas. Allah menghapus tradisi jahiliah yang mengutamakan bentuk luar dan menggantikannya dengan prinsip bahwa yang utama adalah kesucian hati dan ketakwaan. 


Maka dari itu, ritual kurban dalam Islam difokuskan pada keikhlasan dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran-Nya.  
وروي أنهم كانوا في الجاهلية يضربون لحم الأضاحي على حائط الكعبة ويلطخونها بدمها فأراد المسلمون أن يفعلوا فعل المشركين من الذبح وتشريح اللحم منصوبا حول الكعبة وتضميخ الكعبة بالدم تقربا إلى الله تعالى فنزلت هذه الآية 
Artinya: "Diceritakan bahwa pada masa jahiliah, mereka biasa menempelkan daging kurban di dinding Ka'bah dan mengotori Ka'bah dengan darahnya. Para sahabat ingin meniru perbuatan orang-orang musyrik dengan menyembelih hewan kurban, memotong-motong dagingnya, dan menggantungnya di sekitar Ka'bah serta mengotori Ka'bah dengan darahnya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt. Maka turunlah ayat ini." 

[Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,  1417 H) halaman 74]. 
Dengan demikian,  ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi merupakan wujud ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah swt. Dengan memahami hakikat kurban, diharapkan ibadah ini dapat dilaksanakan dengan penuh makna dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. 


Oleh Edi Saputra, S.Pd.I
https://nu.or.id/

HUKUM MASAK DAGING QURBAN UNTUK MAKAN SIANG PANITIA

HUKUM MASAK DAGING QURBAN UNTUK MAKAN SIANG PANITIA

EDI SAPUTRA, S.Pd.I

 Dalam pelaksanaan ibadah kurban, biasanya ta’mir masjid, mushalla, instansi, dan pihak lainnya membentuk kepanitiaan kurban. Panitia ini bertugas menerima amanat dari pihak yang berkurban (mudhahi) untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. Praktik ini dalam pandangan fiqih dikenal sebagai wakalah, di mana panitia bertindak sebagai wakil dari pihak mudhahi (muwakil). 

Sudah menjadi kebiasaan, panitia mengambil sebagian daging kurban untuk dimasak dan dimakan sebagai makan siang oleh semua panitia yang terlibat dalam pelaksanaan kurban. 

Pertanyaannya, bagaimana pandangan fiqih terkait praktik tersebut?  Apakah hal ini dapat dibenarkan? 
Pada dasarnya panitia dalam hal ini hanya sebagai kepanjangan tangan dari mudhahi. Artinya kewenangan panitia hanya melaksanakan apa yang menjadi amanahnya, yakni melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. 

Panitia tidak mempunyai wewenang sedikitpun untuk melakukan tasaruf termasuk memasak daging kurban untuk makan siang. Kecuali mudhahi (muwakil) telah menentukan sejumlah daging untuk panitia (wakil). Maka yang demikian ini diperbolehkan.  

Namun demikian, Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Ibni Qasim mengatakan, menurut sebagian ulama seorang yang mendapatkan amanah (menjadi wakil) untuk membagikan daging aqiqah diperbolehkan mengambil sebagian daging aqiqah tersebut untuk dirinya sendiri. Asalkan kadar yang diambil sesuai kebiasaan yang berlaku yakni sekedar cukup untuk makan siang dan makan malam. Karena adat yang demikian itu masih dapat ditoleransi. Dukung kami untuk terus berkembang 
و إما أن يكون التوكيل في مالية محضة كـ (تفرقة الزكاة مثلاً) أي كتفرقة كفارة ومنذورة، فيجوز التوكيل فيها مطلقاً، ولا يجوز له أخذ شيء منها إلا إن عين له الموكل قدراً منها، لكن قال بعضهم: يجوز لوكيل تفرقة لحم العقيقة أن يأخذ منه قدر كفاية يوم فقط للغداء والعشاء، لأن العادة تتسامح بذلك

Artinya: "Adapun apabila perwakilan itu dalam hal harta murni (maliyah mahdhah), seperti distribusi zakat (misalnya), yaitu seperti distribusi kafarat dan nadzar, maka boleh melakukan perwakilan dalam hal ini secara mutlak, dan tidak boleh bagi wakil mengambil sesuatu darinya kecuali jika pemberi kuasa (muwakil) telah menentukan sejumlah bagian darinya. Namun, beberapa ulama mengatakan: 'diperbolehkan bagi wakil yang mendistribusikan daging aqiqah untuk mengambil darinya sekedar cukup untuk makan siang dan makan malam dalam satu hari, karena adat mentoleransi hal tersebut." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tausyih Ala Ibni Qasim [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah cetakan pertama: 1998], halaman 243). 

Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa wakil tidak diperbolehkan untuk mengambil sedikitpun dari apa yang diwakilkan kepadanya, kecuali muwakil telah menentukan sebagian darinya, atau sudah menjadi kebiasaan wakil mengambil bagian darinya. Itu pun dibatasi dengan kadar seminimal mungkin. 

Hal ini sejalan dengan penjelasan Abu Ishaq sebagai berikut:  
ولا يملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن والإذن يعرف بالنطق وبالعرف 

Artinya: "Dan wakil tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tasaruf kecuali apa yang diizinkan oleh pemberi kuasa (muwakil) baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan. Karena tasarufnya adalah berdasarkan izin, maka ia tidak memiliki kewenangan tasaruf kecuali apa yang diizinkan. Izin ini diketahui melalui ucapan dan kebiasaan." (Abu Ishaq as-Syirazi, al-Muhadzab [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t] juz 2, halaman 166). 

Dengan ini menjadi jelas bahwa kebiasaan yang telah berlaku merupakan salah satu bentuk izin dari pemberi kuasa (muwakil).  


Walhasil, adat kebiasaan di masyarakat di mana panitia kurban memasak sebagian daging kurban untuk makan siang dapat dibenarkan menurut pandangan fikih dengan kadar secukupnya tidak berlebihan. Namun demikian, alangkah baiknya jika sejak awal panitia meminta izin kepada mudhahi akan hal tersebut. 

Penjelasan di atas masih menyisakan permasalahan, yaitu bagaimana jika kurbannya adalah kurban wajib di mana ketentuannya seluruh daging kurban wajib harus diberikan kepada orang-orang fakir dalam keadaan mentah. Sedangkan bisa jadi tidak seluruh panitianya termasuk golongan orang fakir miskin?  
Untuk menyiasati hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kepada salah satu panitia yang fakir kemudian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama seluruh panitia. 

Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab I'anah at-Thalibin sebagai berikut: 
قوله: ولو على فقير واحد أي فلا يشترط التصدق بها على جمع من الفقراء، بل يكفي واحد منهم فقط، وذلك لأنه يجوز الاقتصار على جزء يسير منها، وهو لا يمكن صرفه لأكثر من واحد. قوله: بشئ أي من اللحم. فلا يكفي غير اللحم من نحو كرش وكبد. وقوله: نيئا أي ليتصرف فيه المسكين بما شاء من بيع وغيره 

Artinya: "Dan sekalipun hanya diberikan kepada seorang fakir saja. Artinya, tidak disyaratkan untuk mensedekahkannya kepada sekumpulan fakir miskin, melainkan cukup diberikan kepada salah satu dari mereka saja. Hal ini karena boleh memberikan sebagian kecil darinya, yang mana tidak mungkin dibagikan kepada lebih dari satu orang. Kata sesuatu maksudnya adalah daging. Maka selain daging seperti usus dan hati tidak mencukupi. Dan kata mentah, maksudnya adalah agar fakir tersebut dapat mengolahnya sesuai kehendaknya, seperti menjual atau selainnya."(Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati As-Syafi'i, I'anatut Thalibin, [Beirut, Dar-Fikr: tt], juz II halaman 379). 

Terakhir, hemat kami, dalam rangka lebih berhati-hati, panitia meminta biaya akomodasi penyembelihan, pengolahan, dan pembagian daging kurban kepada para mudhahi yang mewakilkannya kepada panitia sehingga kebutuhan konsumsi dan kebutuhan lainnya dapat dialokasikan dari dana tersebut. Wallahu a'lam. 


Penulis EDI SAPUTRA, S.Pd.I
Referensi https://nu.or.id

BOLEHKAN BERQURBAN SEBELUM AQIQAH? Perhatikan Hukumnya Agar Sah

BOLEHKAN BERQURBAN SEBELUM AQIQAH? Perhatikan Hukumnya Agar Sah


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan saya Anwar. Saya mempunyai pertannyaan seputar kurban yang sebentar lagi akan datang waktunya saat hari raya Idul Adha. Saya waktu kecil belum sempat diaqiqah sampai sekarang usia sudah 29 tahun dan saya mempunyai keinginan untuk kurban. Tapi ada beberapa orang yang menyarankan untuk aqiqah dulu. Mohon untuk ditanggapi pertanyaan saya. Apakah boleh kalau waktu kecil belum aqiqah saat sudah tua langsung melakukan kurban sebelum?. Terimakasih.

Jawaban

Wa'alaikumussalam warahmatuullahi wabarakatuh. Penanya dan seluruh pembaca yang dicintai Allah ta'ala dan semoga selalu mendapat hidayah taufik-Nya.Dalil Kesunahan AqiqahAqiqah adalah hewan yang disembelih atas kelahiran anak. Aqiqah disyariatkan di antaranya berdasarkan hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari sahabat Salman bin Amir ad Dhabbi: مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
 Artinya, "Beserta (kelahiran) anak (dianjurkan) aqiqah. Maka alirkanlah darah (hewan sembelihan) untuknya dan hilangkan kotoran darinya." (HR Al-Bukhari).

Hikmah dan Hukum Aqiqah

Hikmah dianjurkan aqiqah adalah menampakkan kegembiraan atas nikmat mendapat anak dan mengenalkan nasab. (Amjad Rasyid, Al-Qaulul Mahmud fi Ahkamil Maulud, [Tarim, Darul Ilmi wad Dakwah: 2005], halaman 17). Aqiqah sendiri hukumnya sunnah muakkadah, tidak wajib. Ini berdasarkan hadits: من وُلد له ولد، فأحبَّ أن يَنسُك عنه فليَنْسُك
 Artinya, "Barang siapa dikaruniai anak kemudian ia suka untuk menyembelih (aqiqah) darinya, maka sembelihlah." (HR Abu Dawud ). 

Kesunahan aqiqah dibebankan kepada orang yang berkewajiban menafkahi anak yang memiliki kemampuan finansial untuk aqiqah di antara waktu kelahiran hingga 60 hari setelahnya. Sedang waktunya kapanpun selama anak belum baligh. Bila hingga baligh aqiqah belum dilaksanakan, anak disunnahkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.

Hukum dan Hikmah Kurban

Sementara kurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha atau hari tasyriq setelahnya.

Kurban menurut mazhab Syafi'i hukumnya sunnah muakkadah. Waktu kurban lebih sempit dari aqiqah. Kurban hanya bisa dilaksanakan setelah Subuh dan lewat waktu yang cukup untuk Shalat Idul Adha plus khutbahnya, sampai terbenam matahari pada akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). 

Hikmah pelaksanaan kurban banyak sekali, di antaranya yang paling agung adalah meneladani keteguhan Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang bertekad melakukan perintah Allah yang disampaikan lewat mimpi untuk menyembelih anaknya yaitu Ismail. Setelah tampak kesungguhan dan keteguhannya, oleh Allah kemudian diganti dengan kambing. (Mustofa Al-Khin dkk., Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus,Darul Qalam: 1992], juz I,halaman 231-232).

3 Perbedaan Kurban dan AqiqahJadi kurban dan aqiqah adalah dua ibadah yang berbeda dan tak saling berkaitan. Meski keduanya banyak memiliki kemiripan, terutama mengenai ketentuan hewan yang disembelih dan sama-sama semua harus disedekahkan bila wajib semisal kurban nadzar atau aqiqah nadzar.

Di antara perbedan aqiqah dan kurban sebagai berikut:

1. Waktu kurban sangat sempit, hanya empat hari yaitu 10 - 13 Dzulhijjah. Sedangkan waktu aqiqah lebih luas selama anak belum baligh. Bila anak sudah baligh ia bisa mengaqiqahi dirinya sendiri kapanpun.

2. Hukum kurban sangat kuat, bahkan sebagian ulama mengatakan wajib. Sedangkan aqiqah sebagian ulama justru mengatakan tidak disunnahkan.Daging kurban yang diberikan kepada fakir miskin harus berupa mentah. Sementara daging aqiqah dianjurkan dimasak dahulu, walaupun juga boleh andaikan diberikan dalam kondisi mentah.Kurban  atau Aqiqah Dahulu?Dengan demikian, antara kurban dan aqiqah tidak saling menegasikan. Keduanya memiliki tata cara dan hikmah yang berbeda. Anda boleh berkurban meski belum beraqiqah.

Dengan melakukan kurban, anda telah melakukan satu kesunahan. Di lain waktu ketika ada kesempatan dan kemampuan, lakukan aqiqah untuk diri anda sendiri. Atau sebaliknya, anda beraqiqah dahulu, lalu bila besok ketika Idhul Adha mendapat rejeki baru, silahkan berkurban.

Kurban sekaligus Aqiqah dengan Satu Kambing Bila tidak memungkinkan untuk melakukan keduanya sendiri-sendiri, anda bisa mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan satu kambing untuk qurban sekaligus aqiqah sebagaimana keterangan 

Dr Amjad Rasyid dalam Al-Qaulul Mahmud : الرابعة اختلف أئمتنا في ذبح شاة واحدة بنية العقيقة والأضحية معا هل تجزئ عنهما أم لا ؟ فمنعه الشهاب ابن حجر وقال لا يحصل له واحدة منهما وأجازه الشمس محمد الرملي وقال يحصل له بذلك الأضحية والعقيقة وفي هذا القول فسحة

 Artinya, "Keempat, para Imam kita berselisih pendapat mengenai penyembelihan satu kambing dengan niat aqiqah dan kurban sekaligus. Apakah hak itu mencukupi dari keduanya atau tidak. Imam Syihab Ibnu Hajar mencegahnya dan berkata, "Tidak berhasil bagi orang tersebut satupun dari keduanya." 

Sedangkan Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memperbolehkan dan berkata, "Dengan penyembelihan itu telah berhasil kurban dan aqiqah bagi orang tersebut." Dalam pendapat ini terdapat kelapangan. (Rasyid, halaman 17). 

Bila mengikuti pendapat Imam Ar-Ramli di atas, anda perlu memperhatikan tata cara pembagian dagingnya agar tidak menyalahi konsepnya. Baik dalam qurban maupun aqiqah. Semisal daging yang diberikan kepada fakir miskin diberikan masih mentah, sehingga sah sebagai pembagian qurban dan aqiqah. 

Tentu yang lebih baik adalah qurban sendiri dan aqiqah sendiri karena dengan begini kita telah menghindari perbedaan pendapat para ulama.

 Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a'lam.


Oleh EDI SAPUTRA, S.Pd.I
Sumber https://nu.or.id/



6 Sunnah yang Harus Kamu Ketahui Ketika Qurban

6 Sunnah yang Harus Kamu Ketahui Ketika Qurban

oleh: Edi Saputra, S.Pd.I | 25 Mei 2025

✍🏻 6 Amalan Sunnah ketika Iduladha.

Idul Adha merupakan Hari Raya terbesar kedua yang jatuh pada bulan Dzulhijjah tepatnya pada 10 Dzulhijjah. Selain menjalankan rukun islam kelima, yakni naik haji -bagi yang mampu pada momen Idul Adha ini, umat Islam juga melaksanakan ibadah kurban dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Penyembelihan hewan kurbannya bisa dlaksanakan pada hari H Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah atau pada Hari Tasyrik yakni tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. Keutamaan berkurban juga disebutkan dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dari Aisyah ra., Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang anak Adam melakukan pekerjaan yang paling dicintai Allah pada hari nahr kecuali mengalirkan darah (menyembelih hewan kurban). Hewan itu nanti pada hari kiamat akan datang dengan tanduk, rambut dan bulunya. Dan pahala kurban yang menetes pada suatu tempat sebelum menetes ke tanah. Maka hiasilah dirimu dengan ibadah kurban.” (H.R. Al-Hakim, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).


1. Berkurban dengan hewan gemuk 🤲

Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqi, dan Hakim disebutkan bahwa Nabi Saw. Bersabda:

“Sesungguhnya kurban yang paling dicintai Allah adalah hewan paling mahal dan paling gemuk.”

Berkurban dengan hewan yang paling bagus dan gemuk juga memiliki daging yang banyak merupakan sunah dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw.


2. Tidak memotong rambut dan kuku 🤲

Umat Muslim yang akan berkurban, disunahkan untuk tidak memotong atau mencabut kuku dan rambutnya mulai dari awal bulan Dzulhijjah hingga selesai waktu menyembelih hewan kurban. Nabi Saw. bersabda :

“Jika masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (H.R. Muslim).

3. Menyembelih sendiri atau menyaksikan langsung 🤲

Rasulullah Saw. Bersabda, “Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu itu. Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa-dosa yang kamu lakukan. Dan bacalah, ‘Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Swt., Rabb alam semesta”. (H.R. Abu Daud 2810 dan At-Tirmizi 1521).

Disunahkan bagi mereka yang berkurban untuk melihat secara langsung pemotongan hewan kurban. Namun, tidak mampu melihatnya maka diperbolehkan untuk dilakukan oleh orang lain atau tidak menyaksikan penyembelihannya.


4. Membaca Basmalah dan Zikir 🤲

Membaca basmalah dan berzikir kepada Allah Swt. saat dengan menyembelih hewan kurban merupakan sunah yang sangat dianjurkan. Allah Swt.
berfirman dalam surah Al-Hajj ayat 36. Ketika menjelaskan tentang berkurban, “Sebutlah nama Allah ketika menyembelihnya”

5. Menyantap daging kurban 🤲

Dalam Q.S. Al-Hajj: 28, Allah Swt berfirman, “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”

Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan lafaz, “Makan, simpan, dan bersedekahlah kalian (dari kurban kalian).” (H.R. Muslim: 1971).

6. Penyembelihan di hari Idul Adha 🤲

Hadits dari Al-Baraa bin ‘Azib bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya yang kita mulai pertama kali pada hari (Idul Adha) ini adalah salat, kemudian kita pulang lalu menyembelih kurban.” (H.R Bukhari dan Muslim).



Sangat dianjurkan untuk penyembelihan hewan kurban tepat setelah melaksanakan salat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah. Namun demikian, bisa juga dilakukan pada hari Tasyrik yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.


Hukum Panitia Qurban Mendapat Dua Jatah Daging

Hukum Panitia Qurban Mendapat Dua Jatah Daging Dalam kajian fiqih, salah satu tindakan yang dilarang dalam mengelola daging kurb...