Selasa, 25 November 2025

Menyederhanakan NU

Menyederhanakan NU
Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Kisruh dan dinamika internal PBNU belakangan ini seperti membuka kembali lembaran lama tentang betapa rentannya jam’iyyah ketika struktur kepemimpinan melebar tanpa kejelasan garis komando. Semua pihak merasa memiliki legitimasi—Rais ‘Aam dipilih Muktamar, Ketua Umum juga dipilih Muktamar. Keduanya merasa memegang mandat langsung dari jama’ah, dan di titik inilah roda organisasi mulai tersendat, bahkan berhenti berbulan-bulan.

Dari sini, muncul satu kebutuhan mendesak: menyederhanakan NU.

1. Menata Ulang Struktur Puncak Jam’iyyah

Sudah saatnya NU mempertimbangkan model yang lebih ringkas dan jelas. Pada Muktamar mendatang, posisi yang dipilih langsung oleh Muktamar mungkin cukup Rais ‘Aam saja. Setelah itu, Rais ‘Aam terpilih diberi mandat untuk menunjuk Ketua Umum, bukan melalui kontestasi terbuka.

Model ini menyelesaikan dua persoalan sekaligus:

- Tidak ada lagi dualisme dua figur yang sama-sama merasa dipilih Muktamar;
- Konsolidasi Syuriyah dan Tanfidziyah menjadi lebih stabil karena Ketua Umum berangkat dari amanah Rais ‘Aam, bukan menjadi “kutub” tandingan.

NU berdiri di atas hikmah tatanan ulama; bukan pertempuran kuasa yang menggerus marwah jam’iyyah.

2. Kemandirian Ekonomi PBNU

Namun inti persoalan jauh lebih dalam dari sekadar struktur. NU perlu mandiri secara ekonomi. Kemandirian ini dimulai dari titik yang paling awal dan paling simbolis: Muktamar.

Muktamar NU harus kembali sederhana, bersahaja, dan berbasis swadaya. Tidak perlu tiket, tidak perlu sangu, tidak perlu fasilitas mewah—apalagi private jet atau charter pesawat oleh pihak ketiga. Semua itu hanya melahirkan ketergantungan, pembelokan loyalitas, dan kooptasi kepentingan yang tidak pernah menguntungkan jama’ah.

Biarlah delegasi PCNU, PCINU, dan PWNU yang hadir datang dengan biaya hasil urunan anggota masing-masing. Muktamar bukan pesta akbar; ini forum musyawarah agama, bukan panggung promosi kandidat atau pertunjukan kemewahan yang bertolak belakang dengan akar tradisi NU. 

Muktamar dilaksanakan dengan biaya sendiri, tanpa sumbangan pihak luar. Kita selenggarakan Muktamar sesederhana mungkin. 

Jika Muktamar bersih dari ongkos politik, maka kita dapat memilih pemimpin yang memang layak, bukan yang paling banyak menutupi biaya. Kualitas melampaui modal. Integritas lebih tinggi dari lobi.

3. Mengembalikan NU ke Nafas Awal

NU berdiri dari kultur kesederhanaan para kiai kampung: mengajar, membimbing, mengayomi umat dengan apa adanya. Tidak ada glamor. Tidak ada transaksi.

Menyederhanakan NU artinya mengembalikan napas itu:

 • struktur yang jelas,
 • manajemen yang rapi,
 • ekonomi mandiri,
 • dan Muktamar yang kembali menjadi ruang suci musyawarah, bukan medan kontestasi pragmatis.

Dengan begitu, jam’iyyah ini bisa pulih dari sakitnya, kembali berjalan, dan memberi arah nyata bagi jama’ah yang selama ini tetap bergerak meski rumah besarnya sedang retak.

NU terlalu besar untuk dibiarkan kacau, dan terlalu mulia untuk dibiarkan diseret oleh kepentingan jangka pendek. Menyederhanakan NU bukan kemunduran: justru itulah satu-satunya jalan untuk melangkah maju.

Wallahu A'lam
Tabik Puun...

Al-Faqir Al-Jahl Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Minggu, 23 November 2025

Begini Makna, Logo, Twibbon Hari Guru Nasional 2025

Begini Makna, Logo, Twibbon Hari Guru Nasional 2025

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.


Logo Hari Guru Nasional 2025. (dok.kemendikdasmen)

Setiap tanggal 25 November, kita memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Nah, inilah makna dan link Twibbon HGN 2025.

Menyambut perayaan tersebut, logo HGN yang diluncurkan bukan sekadar simbol, melainkan sebuah narasi visual yang penuh filosofi mendalam.

Logo ini secara khusus dirancang untuk menggambarkan hubungan harmonis dan kolaboratif antara guru dan murid, yang berlandaskan kasih sayang serta semangat belajar bersama.

Hati Emas, pusat ketulusan dan cahaya ilmu

Secara visual, logo HGN menempatkan bentuk hati emas sebagai pusat perhatian.

Elemen ini menjadi penanda ketulusan, cinta, dan pengabdian yang tak terbatas dari seorang guru, yang diibaratkan sebagai sumber inspirasi dan cahaya ilmu pengetahuan bagi anak didiknya.

Sosok guru digambarkan sebagai pembimbing yang berperan aktif dalam mengarahkan dan memberdayakan murid, menegaskan semangat gotong royong dalam proses pendidikan.

Sementara itu, buku terbuka di bagian bawah berfungsi sebagai fondasi visual, yang mencerminkan bahwa ilmu pengetahuan adalah dasar utama bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Ketiga figur murid yang bergerak dinamis melengkapi komposisi logo. Mereka mewakili jenjang pendidikan dari dasar hingga menengah.

Figur ini melambangkan pertumbuhan, semangat belajar yang tak pernah padam, dan aspirasi besar bangsa untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045.

Makna warna logo

Setiap warna yang digunakan dalam logo ini turut memperkuat pesan yang disampaikan:
Warna Makna Filosofis

  1. Emas: Keagungan, kejayaan, dan ketulusan guru sebagai fondasi pendidikan unggul.
  2. Biru Tua: Kepercayaan, stabilitas, profesionalisme, dan kecerdasan dalam mendidik.
  3. Abu-abu: Netralitas, kedewasaan, dan tanggung jawab yang diemban oleh para pendidik.
  4. Biru Muda: Kemandirian, kebijaksanaan, dan semangat belajar yang dimiliki oleh peserta didik.
  5. Merah: Energi, keberanian, dan motivasi kuat untuk mencapai seluruh cita-cita pendidikan.

Link Twibbonize  Hari Guru Nasional 2025

Twibbon HGN 2025 Versi Kemenag >>>> Klik Disini
Twibbon HGN 2025 Versi Yayasan Ar-Raihan Belalau >>>> Klik Disini
Twibbon HGN 2025 Versi UMUM >>>>  Klik Disini



Selamat Hari Guru Nasional 2025


Mengenal Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA)

Mengenal Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA)

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.
Rais Syuriah MWCNU Belalau Lampung Barat
Mengenal Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA)

Ilustrasi Ahlul Halli wal Aqdi atau AHWA (Desain: Iqbal)


Dalam setiap pelaksanaan Muktamar untuk tingkat PBNU maupun Konferensi untuk tingkat wilayah, cabang, MWC dan ranting, lazim dikenal Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA). AHWA terdiri dari para ulama terpercaya yang akan memilih Rais Syuriyah. Untuk mengenal lebih jauh soal AHWA, berikut keterangan dari Ensiklopedi NU.

Ahlul halli wal aqdi (AHWA) merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif yang ditaati, berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dibentuk karena keperluan khusus.  

Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti “orang yang berwenang melepaskan dan mengikat.” Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli. Disebut “melepaskan” karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati. 
Tradisi ahlul hali dicontohkan oleh sahabat Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Dia memilih orang-orang terpercaya sebagai wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar setelah meninggalnya sang khalifah. Mereka yang terpilih kemudian bermusyawarah, berdebat, dan memutuskan sesuatu yang harus ditaati anggota AHWA dan kaum muslimin. Keputusannya saat itu, di antaranya adalah memilih Utsman bin Affan sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab. 

Tradisi ini semakin dikenal umat Islam setelah para faqih memformulasikan dalam bentuk ilmu fikih yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti yang dilakukan Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyah. Al Mawardi memasukkan lembaga AHWA sebagai institusi tersendiri yang berfungsi semacam  legislatif di samping institusi-institusi lain yang membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan. 

Dalam fikih, institusi ini adalah wujud dari perintah Al-Qur’an dalam ayat: ”…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran (3): 159). Anggota AHWA adalah perwakilan dari orang-orang yang berpengaruh dan penting di dalam umat, karena dalam wilayah yang luas dan umat yang banyak, tidak mungkin satu orang diwakili satu orang, dan semua menjadi anggota AHWA. 

Jamiyah NU kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriyah dan berfungsi sebagai AHWA. Karena posisi demikian, mestilah ditaati, karena syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat oleh muktamar dan para AHWA yang dipilih formatur. 


Di masa awal NU, AHWA sebagai fungsi juga pernah dikemukakan NU ketika mengusulkan Indonesia  berparlemen, sebagaimana dituntut GAPI dalam Korindo. NU membuat sebuah maklumat yang menyebut badan yang perlu ada itu sebagai ahlul halli wal aqdi:  

“Menimbang bahwa pada pertama kalinya parlemen dalam arti yang sebenar-benarnya, yaitu permusyawaratannya Ahcle’l challi wal ‘aqdi yang dipilih oleh umat Islam memang tuntunan (tata cara) Islam. Dipandang dari jurusan ini, syuriyah dan tanfidziyah menyetujui Indonesia berparlemen dengan arti tersebut.” 

Di luar itu, sebagai fungsi, NU juga pernah mempraktekkan konsep AHWA bagi lembaga-lembaga kenegaraan Indonesia, yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno, karena mendapatkan tantangan legitimasi dari berbagai pemberontakan, termasuk dari Darul Islam. NU memberikan gelar Soekarno sebagai waliyul amri adh-dharuri bis syaukah (pemimpin dalam keadaan darurat yang memiliki kekuasaan sah). Ini dilakukan NU karena didorong salah satunya oleh pandangan keagamaan, yaitu untuk menikahkan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, dilakukan oleh hakim. Sementara wali hakim itu, menurut mazhab Syafii, hanya dianggap sah kalau ia diangkat karena memperoleh kuasa dari pemerintah yang telah dianggap sah pula. Dari sudut ini, kemudian NU menganggap badan-badan yang dibentuk pemerintah yang sah berfungsi harus ditaati. 

Sumber: Ensiklopedi NU.

Artikel ini pernah dimuat dalam NU Onlin

Wallahu A'lam..

Kisah Syekh Nawawi Banten: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap Utuh

Kisah Syekh Nawawi Banten: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap Utuh
_________________________
Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.



Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (676 Hijriah atau l277 Masehi). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji.

Nama kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.

Di setiap majlis ta’lim, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir.

Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).

Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekkah dan Madinah.

Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekkah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-Jawi.

"Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan Al-Jawi mengindikasikan muasalnya yang Jawa, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten," kata Ismetullah Al Abbas, pewaris Kesultanan Banten, ketika ditemui di rumahnya di kompleks Masjid Banten, Banten, beberapa waktu lalu.

Menurut sejarah, Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani.

Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 Masehi atau 1230 Hijriah. Pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah atau 1897 Masehi. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.

Memiliki karomah kakinya bersinar saat gelap

Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di Desa Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari Jumat terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ismet mengungkapkan, Syekh Nawawi memiliki karomah. Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan unta. Tapi di jalan pun ia tetap menulis.

Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslim, ia mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis.

"Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi," ujarnya.

Bertahun-tahun dikubur jasad utuh

Karomah yang lain, tampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la).

Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur.

"Bila pergi ke Mekkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Tanara, Serang, Banten. Letaknya di belakang masjid Nawawi di Tanara," ujar Ismet.

Kyai Hashim Ashari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.

Konon, di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali Kyai Hashim Ashari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
_______________________

Wallahu A'lam

Menyederhanakan NU

Menyederhanakan NU Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr. Kisruh dan dinamika internal PBNU belakangan ini seperti membuka kembali lem...