Rabu, 12 November 2025

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI


KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.

“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.

Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang dialaminya. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”

Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.

“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.

“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Karena usianya yang sangat muda Bahar kecil dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

Disarikan dari buku "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI


KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.

“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.

Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang dialaminya. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”

Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.

“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.

“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Karena usianya yang sangat muda Bahar kecil dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

Disarikan dari buku "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2

‎KENAPA GURU HARUS LEBIH DIHORMATI DARIPADA ORANG TUA?

‎KENAPA GURU HARUS LEBIH DIHORMATI DARIPADA ORANG TUA? 
‎Oleh : Edi Saputra, S.PdI.,Gr.



‎Imam al-Ghazali menulis bab khusus menjelaskan perihal masalah ini dalam kitab Minhajul Muta'allimin dengan tajuk :
‎تقديم حق المعلم على حق والديه
‎"Mendahulukan haknya seorang guru daripada haknya kedua orang tua murid." 
‎Kata beliau, haknya seorang guru harus lebih didahulukan oleh murid daripada kedua orang tuanya dan seluruh umat muslim lainnya, sepertimana hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
‎خير الأباء من علمك
‎"Paling baiknya seorang bapak, adalah seseorang yang telah mengajarkanmu."
‎Dalam haidits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda :
‎إنما المعلم أب لكم مثل الوالد لولده
‎"Sesungguhnya seorang guru adalah bapak bagi kalian, sebagaimana orang tua terhadap anaknya." 
‎Menurut al-Ghazali, bahkan gurulah yang disebut sebagai orang tua yang sesungguhnya, karena seorang bapak hanyalah sebab adanya kehidupan yang fana ini, sedangkan guru sebagai sebab adanya kehidupan yang baka kelak. 
‎قال بعضهم : الأباء ثلاثة أب رباك، وأب ولدك، وأب علمك، وخير الأباء من علمك
‎Sebagian ulama mengatakan, "Bapak itu ada tiga; bapak yang merawatmu, bapak yang melahirkanmu dan bapak yang mengajarkanmu. Sebaik-baiknya bapak adalah orang yang mengajarimu."
‎قال يحي بن معاذ : المعلم خير من أبائكم وأمهاتكم لأن لأن أبائكم وأمهاتكم يحفظون من نار الدنيا، ومعلم الخير يحفظ من نار الأخرة
‎Yahya bin Mu'adz berkata, "Seorang guru lebih baik daripada bapak dan ibu kalian, karena bapak dan ibu kalian itu menjagamu dari api dunia, sedangkan guru yang baik adalah menjagamu dari api akhirat."
‎وفى الخبر : قيل لإسكندر ذى القرنين لم تعظم أستاذك أكثر من أبويك؟ لأن أبي أنزلني من السماء إلى الأرض، وأستاذي يرفعني من الأرض إلى السماء
‎Dalam sebuah hadits dijelaskan, ditanyakan kepada Iskandar Dzul Qarnain, "Kenapa engkau mengagungkan gurumu lebih banyak dari kedua orang tuamu? Beliau menjawab, karena bapakku yang menurunkan aku dari langit ke bumi, sedangkan guruku yang mengangkatku dari bumi ke atas langit."
‎Referensi : Minhajul Muta'allim | Hujjatul Islam al-Ghazali | hal 46
Pic. KH. Abdul Syukur Syah beserta Istri (Pendiri Pondok Pesantren Daarul Khair Kotabumi La.pung Utara). 

Semoga beliau berdua diangkat derajatnya oleh Allah, dan kita mendapatkan barakahnya. Aamiin

Silsilah Nabi Muhammad Sampai Nabi Adam Lengkap

Silsilah Nabi Muhammad Sampai Nabi Adam Lengkap

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.



1. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم

2. Abdullah

3. Abdul Muthallib

4. Hasyim

5. Abdu Manaf

6. Qushoi

7. Kilab

8. Murroh

9. Ka'ab

10. Luay

11. Gholib

12. Fihr (julukannya adalah Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya)

13. Malik

14. Nadhr

15. Kinanah

16. Khuzaimah

17. Mudrikah (amir)

18. Ilyas

19. Mudhor

20. Nizar

21. Ma'ad

22. Adnan

23. 'Adad

24. Hamaisa'

25. Salaaman

26. 'Iwadh

27. Buuz

28. Qimwal

29. Abi

30. 'Awwam

31. Naasyid

32. Hiza

33. Buldas

34. Yadhaf

35. Thabiikh

36. Jaahim

37. Naahisy

38. Maakhi

39. 'Iid

40. 'Abqor

41. 'Ubaid

42. Addi'a

43. Hamdaan

44. Sunbur

45. Yatsribi

46. Yahzan

47. Yalhan

48. Ar'awi

49. 'Iid

50. Disyaan

51. 'Aishor

52. Afnaad

53. Ayhaam

54. Miqhsor

55. Naahits

56. Zaarih

57. Sumay

58. Mizzi

59. 'Uudah

60. 'Urom

61. Qoidzar (Haidir)

62. Nabi Isma'il 'alaihissalam

63. Nabi Ibrahim 'alaihissalam

64. Taarih (Aazar)

65. Naahur

66. Saaru

67. Raa'uw

68. Faalikh

69. 'Aabir

70. Syalikh

71. Arfakhsyad

72. Sam

73. Nabi Nuh 'alaihissalam

74. Laamik

75. Mutwisylakh

76. Akhnukh (Ada yang berpendapat Nabi Idris 'alaihissalam)

77. Yarid

78. Mahlaail

79. Qinan (Qoinaan)

80. Anusyah

81. Nabi Syits 'alaihissalam

82. Nabi Adam 'alaihissalam

#silsilahnabimuhammad #nasabnabimuhammad #nasab #ngaji #ulama #wisatahati

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI Oleh: Edi Sap...