Jumat, 12 Desember 2025

Ketawadhuan KH. Sahal Mahfudh: Disangka Orang Biasa, Diminta Banser Menunggu di Luar Gedung

Ketawadhuan KH. Sahal Mahfudh: Disangka Orang Biasa, Diminta Banser Menunggu di Luar Gedung
________________


Pada Muktamar NU di Yogyakarta tahun 1989, KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh datang ke lokasi acara dengan penampilan khas beliau yang sangat sederhana. Seperti biasanya, beliau hadir tepat waktu, bahkan sebelum acara dimulai.

Banser yang bertugas menjaga pintu sebenarnya sudah diberi tahu bahwa Kiai Sahal akan datang. Namun karena belum pernah melihat beliau sebelumnya, mereka membayangkan sosok kiai yang gagah, ramai pengawal, dan mengenakan sorban di kepala.

Begitu Kiai Sahal tiba dengan tampilan yang begitu sederhana, Banser pun ragu. Sosok yang berdiri di depan mereka jelas tidak sesuai dengan bayangan seorang kiai besar.

“Bapak siapa?” tanya Banser.

“Saya Sahal,” jawab beliau singkat.

Banser itu memperhatikan beliau dari ujung kaki sampai kepala. Menurut pikirannya, tidak mungkin pria berpenampilan biasa seperti ini adalah KH. Sahal Mahfudh. Tidak ada sorban, tidak tampak seperti kiai besar.

“Oh begitu, Pak… Mungkin Bapak bisa menunggu di luar gedung dulu ya,” katanya dengan halus — meski maksudnya menolak masuk.

Sementara itu, panitia di dalam gedung mulai gelisah menunggu kedatangan Kiai Sahal yang tak kunjung muncul. Salah satu panitia kemudian bertanya kepada Banser apakah ada seseorang bernama Sahal ingin masuk. “Ada, Kang. Tapi cuma orang biasa. Sepertinya bukan kiai. Wong nggak pakai sorban,” jawab Banser.

Panitia langsung panik. Ia bergegas keluar gedung, menyusuri sekitar area, dan akhirnya menemukan Kiai Sahal duduk santai bersama penjual dawet.

“Lha tadi saya tidak diperbolehkan masuk oleh Banser, diminta menunggu di sekitar gedung. Ya sudah, saya ikut saja,” ujar Kiai Sahal sambil tersenyum.

Sumber: Fb Pecinta Ulama Nusantara
Disadur oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.


#mbahsahal 
#ulamanusantara 
#pecintaulamanusantara

Kamis, 11 Desember 2025

Sang Penyair di Madrasah Fiqh: Menelusuri Jejak KH. Zulfa Mustofa sebagai Santri Mbah Sahal Mahfudz

Sang Penyair di Madrasah Fiqh: Menelusuri Jejak KH. Zulfa Mustofa sebagai Santri Mbah Sahal Mahfudz


KH. Zulfa Mutofa, Beliau adalah seorang orator ulung, dan yang paling menonjol: seorang sastrawan Arab yang mampu menggubah ribuan bait nadhom tentang sejarah NU.

​Namun, untuk memahami kedalaman ilmu Kiai Zulfa, kita harus menarik garis waktu ke belakang. Ke sebuah desa santri bernama Kajen, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di sanalah, di bawah naungan keteduhan dan ketegasan KH. MA. Sahal Mahfudz (Mbah Sahal), karakter intelektual Kiai Zulfa ditempa.

Kawah Candradimuka Mathali’ul Falah

​Kiai Zulfa Mustofa adalah alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM), lembaga pendidikan legendaris yang dipimpin oleh Mbah Sahal. Menjadi santri Mbah Sahal bukanlah perkara mudah. Mbah Sahal dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, bervisi jauh ke depan, dan rasional. Beliau tidak hanya mencetak kiai yang bisa membaca kitab kuning, tetapi ulama yang memahami konteks sosial (Fiqh Sosial).

​Di sinilah Kiai Zulfa muda tumbuh. Ia menyerap atmosfer keilmuan Kajen yang kental. Jika Mbah Sahal adalah "gunung" ilmu Ushul Fiqh yang kokoh dan rasional, Kiai Zulfa adalah "mata air" yang mengalirkan ilmu itu dengan keindahan bahasa.

Sintesa Fiqh dan Sastra

​Salah satu warisan terbesar Mbah Sahal kepada para santrinya adalah pentingnya penguasaan alat (gramatika dan logika) untuk membedah hukum. 

Kiai Zulfa menangkap ini dengan cara yang istimewa. ​Mbah Sahal dikenal sangat teliti ( tahqiq ) dalam ibarat kitab. Kiai Zulfa mewarisi ketelitian itu namun menyajikannya dalam wadah estetika sastra Arab (Balaghah dan Arudh).

​Ketika Kiai Zulfa menulis kitab "Tuhfatul Qashi wad Dani" (kitab nadhom sejarah NU yang memukau ulama Timur Tengah), kita bisa melihat jejak didikan Mbah Sahal di sana:
Keakuratan Data: Seperti gurunya yang fakih, Kiai Zulfa tidak sembarangan menulis sejarah; ia merisetnya dengan ketat layaknya ahli fiqh menelusuri dalil.
Keindahan Penyampaian: Mbah Sahal mengajarkan bahwa kebenaran harus disampaikan dengan cara yang baik (kontekstual). Kiai Zulfa menerjemahkan "cara yang baik" itu melalui syair yang menyentuh hati.

Mewarisi Nalar Fiqh Sosial

​Mbah Sahal Mahfudz adalah penggagas Fiqh Sosial—pemahaman bahwa hukum Islam tidak boleh kaku dan harus menjadi solusi bagi problem masyarakat.

​Sebagai santri, Kiai Zulfa menyerap paradigma ini. Dalam berbagai ceramah dan keputusannya di PBNU, Kiai Zulfa sering kali menampilkan wajah Islam yang moderat, solutif, dan tidak tekstualis. Ia tidak hanya berhenti pada "apa hukumnya", tetapi "apa maslahatnya". Kemampuan Kiai Zulfa mengurai masalah keumatan yang rumit dengan bahasa yang jenaka namun berbobot adalah cerminan dari kematangan nalar yang dibangun di Mathali’ul Falah.

​Takzim Sang Murid
​Meskipun kini telah menjadi tokoh besar, sikap tawadhu Kiai Zulfa terhadap gurunya tidak pernah luntur. Dalam berbagai kesempatan, Kiai Zulfa sering mengutip maqolah atau pandangan Mbah Sahal sebagai landasan argumennya.

​Ada sebuah sanad (sambungan) ruhani yang kuat. Kiai Zulfa adalah bukti keberhasilan kaderisasi Mbah Sahal: seorang ulama yang berakar kuat pada tradisi turats (kitab kuning), namun memiliki wawasan luas dan kemampuan komunikasi yang relevan dengan zaman.
​Melihat sosok KH. Zulfa Mustofa hari ini adalah melihat buah yang matang dari pohon yang ditanam oleh guru-guru beliau salah satunya Mbah Sahal Mahfudz. Ia adalah perpaduan antara ketajaman logika hukum (fuqaha) ala Mbah Sahal dan kelembutan rasa bahasa (udaba).

​Sebagai santri, Kiai Zulfa telah menunaikan tugas tertingginya: tidak hanya menjaga ilmu sang guru, tetapi mengembangkannya, mensyairkannya, dan menyebarkannya ke penjuru dunia. 

Jika Mbah Sahal dikenal dengan gagasan besar "Maslahah Ammah"-nya, maka kita rindu melihat gagasan tersebut dieksekusi oleh tangan dingin Kiai Zulfa melalui kebijakan-kebijakan organisasi yang menyejukkan.

​Kemampuan retorika dan sastra beliau diharapkan bukan hanya menjadi pemanis mimbar, melainkan menjadi jembatan komunikasi yang efektif. Di tengah situasi keumatan dan kebangsaan yang dinamis, sosok Kiai Zulfa yang luwes diharapkan mampu merangkul berbagai friksi, menyatukan serpihan perbedaan, dan menjahit kembali ukhuwah yang mungkin sempat renggang, baik di internal jam'iyah maupun di kancah nasional.


Al-Faatihah...

Menyederhanakan NU

Menyederhanakan NU
Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.
(Rois Syuriah MWCNU Belalau Lampung Barat)

Kisruh dan dinamika internal PBNU belakangan ini seperti membuka kembali lembaran lama tentang betapa rentannya jam’iyyah ketika struktur kepemimpinan melebar tanpa kejelasan garis komando. Semua pihak merasa memiliki legitimasi—Rais ‘Aam dipilih Muktamar, Ketua Umum juga dipilih Muktamar. Keduanya merasa memegang mandat langsung dari jama’ah, dan di titik inilah roda organisasi mulai tersendat, bahkan berhenti berbulan-bulan.

Dari sini, muncul satu kebutuhan mendesak: menyederhanakan NU.

1. Menata Ulang Struktur Puncak Jam’iyyah

Sudah saatnya NU mempertimbangkan model yang lebih ringkas dan jelas. Pada Muktamar mendatang, posisi yang dipilih langsung oleh Muktamar mungkin cukup Rais ‘Aam saja. Setelah itu, Rais ‘Aam terpilih diberi mandat untuk menunjuk Ketua Umum, bukan melalui kontestasi terbuka.

Model ini menyelesaikan dua persoalan sekaligus:

- Tidak ada lagi dualisme dua figur yang sama-sama merasa dipilih Muktamar;
- Konsolidasi Syuriyah dan Tanfidziyah menjadi lebih stabil karena Ketua Umum berangkat dari amanah Rais ‘Aam, bukan menjadi “kutub” tandingan.

NU berdiri di atas hikmah tatanan ulama; bukan pertempuran kuasa yang menggerus marwah jam’iyyah.

2. Kemandirian Ekonomi PBNU

Namun inti persoalan jauh lebih dalam dari sekadar struktur. NU perlu mandiri secara ekonomi. Kemandirian ini dimulai dari titik yang paling awal dan paling simbolis: Muktamar.

Muktamar NU harus kembali sederhana, bersahaja, dan berbasis swadaya. Tidak perlu tiket, tidak perlu sangu, tidak perlu fasilitas mewah—apalagi private jet atau charter pesawat oleh pihak ketiga. Semua itu hanya melahirkan ketergantungan, pembelokan loyalitas, dan kooptasi kepentingan yang tidak pernah menguntungkan jama’ah.

Biarlah delegasi PCNU, PCINU, dan PWNU yang hadir datang dengan biaya hasil urunan anggota masing-masing. Muktamar bukan pesta akbar; ini forum musyawarah agama, bukan panggung promosi kandidat atau pertunjukan kemewahan yang bertolak belakang dengan akar tradisi NU. 

Muktamar dilaksanakan dengan biaya sendiri, tanpa sumbangan pihak luar. Kita selenggarakan Muktamar sesederhana mungkin. 

Jika Muktamar bersih dari ongkos politik, maka kita dapat memilih pemimpin yang memang layak, bukan yang paling banyak menutupi biaya. Kualitas melampaui modal. Integritas lebih tinggi dari lobi.

3. Mengembalikan NU ke Nafas Awal

NU berdiri dari kultur kesederhanaan para kiai kampung: mengajar, membimbing, mengayomi umat dengan apa adanya. Tidak ada glamor. Tidak ada transaksi.

Menyederhanakan NU artinya mengembalikan napas itu:

 • struktur yang jelas,
 • manajemen yang rapi,
 • ekonomi mandiri,
 • dan Muktamar yang kembali menjadi ruang suci musyawarah, bukan medan kontestasi pragmatis.

Dengan begitu, jam’iyyah ini bisa pulih dari sakitnya, kembali berjalan, dan memberi arah nyata bagi jama’ah yang selama ini tetap bergerak meski rumah besarnya sedang retak.

NU terlalu besar untuk dibiarkan kacau, dan terlalu mulia untuk dibiarkan diseret oleh kepentingan jangka pendek. Menyederhanakan NU bukan kemunduran: justru itulah satu-satunya jalan untuk melangkah maju.

Wallahu A'lam
Tabik Puun...

Al-Faqir Al-Jahl Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Ketawadhuan KH. Sahal Mahfudh: Disangka Orang Biasa, Diminta Banser Menunggu di Luar Gedung

Ketawadhuan KH. Sahal Mahfudh: Disangka Orang Biasa, Diminta Banser Menunggu di Luar Gedung ________________ Pada Muktamar NU di...