Minggu, 23 November 2025

Kisah Syekh Nawawi Banten: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap Utuh

Kisah Syekh Nawawi Banten: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap Utuh
_________________________
Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.



Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (676 Hijriah atau l277 Masehi). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji.

Nama kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.

Di setiap majlis ta’lim, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir.

Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).

Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekkah dan Madinah.

Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekkah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-Jawi.

"Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan Al-Jawi mengindikasikan muasalnya yang Jawa, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten," kata Ismetullah Al Abbas, pewaris Kesultanan Banten, ketika ditemui di rumahnya di kompleks Masjid Banten, Banten, beberapa waktu lalu.

Menurut sejarah, Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani.

Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 Masehi atau 1230 Hijriah. Pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah atau 1897 Masehi. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.

Memiliki karomah kakinya bersinar saat gelap

Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di Desa Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari Jumat terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ismet mengungkapkan, Syekh Nawawi memiliki karomah. Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan unta. Tapi di jalan pun ia tetap menulis.

Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslim, ia mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis.

"Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi," ujarnya.

Bertahun-tahun dikubur jasad utuh

Karomah yang lain, tampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la).

Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur.

"Bila pergi ke Mekkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Tanara, Serang, Banten. Letaknya di belakang masjid Nawawi di Tanara," ujar Ismet.

Kyai Hashim Ashari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.

Konon, di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali Kyai Hashim Ashari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
_______________________

Wallahu A'lam

Selasa, 18 November 2025

BUDAK vs TA'DHIM

BUDAK <> TA'DHIM

                      By EDI SAPUTRA, S.PdI.,Gr.
   

1. Budak (ʿAbd / ʿAbîd)

Makna:
Budak adalah mamlûk — seseorang yang dimiliki secara penuh oleh tuannya, tidak memiliki kebebasan diri, dan wajib tunduk karena status kepemilikan.

Ciri khas:
 • Tunduk karena terpaksa atau karena status kepemilikan.
 • Tidak punya hak menentukan nasib sendiri.
 • Dalam konteks akidah, manusia hanya boleh menjadi Budak Allah bukan kepada sesama manusia. 

2. Ta’dhîm (تَعْظِيم)

Makna:
Ta’dhîm berarti mengagungkan, menghormati, atau memuliakan seseorang karena ilmunya, kedudukannya, atau usianya — tanpa menganggapnya Tuhan atau pemilik diri kita.

Contoh:
 • Santri mencium tangan guru — bentuk ta’dhîm, bukan penyembahan.
 • Mencium tangan orang tua atau ulama — tanda hormat, bukan perbudakan.

Dalilnya:

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak kecil, dan tidak menempatkan ulama pada kedudukannya.”
(HR. Ahmad, Thabrani)

Kyai kami tidak gila hormat, tapi kami santri yang butuh menghormati kyai
Kyai kami tidak butuh amplop kami, tapi kami yang butuh ikroman kepada kyai.

Sang Pahlawan dari Bangkalan

Sang Pahlawan dari Bangkalan
_____________________________


Sudah selayaknya Syaikhona Kholil diberi gelar pahlawan Nasional karena dalam mendidik ilmu agama, Syaikhona Muhammad Kholil juga terus menggelorakkan perjuangan dengan menanamkan nilai-nilai nasionalis untuk cinta tanah air. Narasi seperti ini dapat kita temukan dalam salah satu manuskrip kitab Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

"حب الأوطان من الإيمان"

Manuskrip kitab tulisan tangan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, di bagian akhir dijelaskan penulisan tersebut tertera pada tahun 1308 H atau sekitar 1887 M, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dan Beliau inilah yang memberi isyarat kepada KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan organisasi para ulama yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama.

#sejarah #pahlawan 
#UlamaNU #NahdlatulUlama
#NU #Masyayikh
_________________
Tulisan tangan Syaikhona Cholil Bangkalan.

Rabu, 12 November 2025

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI


KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.

“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.

Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang dialaminya. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”

Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.

“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.

“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Karena usianya yang sangat muda Bahar kecil dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

Disarikan dari buku "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2

KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI


KIAI BAHAR SIDOGIRI, MEMBUAT SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

Oleh: Edi Saputra, S.PdI.,Gr.

Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.

“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.

Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang dialaminya. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”

Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.

“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.

“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Karena usianya yang sangat muda Bahar kecil dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.”

Disarikan dari buku "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2

‎KENAPA GURU HARUS LEBIH DIHORMATI DARIPADA ORANG TUA?

‎KENAPA GURU HARUS LEBIH DIHORMATI DARIPADA ORANG TUA? 
‎Oleh : Edi Saputra, S.PdI.,Gr.



‎Imam al-Ghazali menulis bab khusus menjelaskan perihal masalah ini dalam kitab Minhajul Muta'allimin dengan tajuk :
‎تقديم حق المعلم على حق والديه
‎"Mendahulukan haknya seorang guru daripada haknya kedua orang tua murid." 
‎Kata beliau, haknya seorang guru harus lebih didahulukan oleh murid daripada kedua orang tuanya dan seluruh umat muslim lainnya, sepertimana hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
‎خير الأباء من علمك
‎"Paling baiknya seorang bapak, adalah seseorang yang telah mengajarkanmu."
‎Dalam haidits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda :
‎إنما المعلم أب لكم مثل الوالد لولده
‎"Sesungguhnya seorang guru adalah bapak bagi kalian, sebagaimana orang tua terhadap anaknya." 
‎Menurut al-Ghazali, bahkan gurulah yang disebut sebagai orang tua yang sesungguhnya, karena seorang bapak hanyalah sebab adanya kehidupan yang fana ini, sedangkan guru sebagai sebab adanya kehidupan yang baka kelak. 
‎قال بعضهم : الأباء ثلاثة أب رباك، وأب ولدك، وأب علمك، وخير الأباء من علمك
‎Sebagian ulama mengatakan, "Bapak itu ada tiga; bapak yang merawatmu, bapak yang melahirkanmu dan bapak yang mengajarkanmu. Sebaik-baiknya bapak adalah orang yang mengajarimu."
‎قال يحي بن معاذ : المعلم خير من أبائكم وأمهاتكم لأن لأن أبائكم وأمهاتكم يحفظون من نار الدنيا، ومعلم الخير يحفظ من نار الأخرة
‎Yahya bin Mu'adz berkata, "Seorang guru lebih baik daripada bapak dan ibu kalian, karena bapak dan ibu kalian itu menjagamu dari api dunia, sedangkan guru yang baik adalah menjagamu dari api akhirat."
‎وفى الخبر : قيل لإسكندر ذى القرنين لم تعظم أستاذك أكثر من أبويك؟ لأن أبي أنزلني من السماء إلى الأرض، وأستاذي يرفعني من الأرض إلى السماء
‎Dalam sebuah hadits dijelaskan, ditanyakan kepada Iskandar Dzul Qarnain, "Kenapa engkau mengagungkan gurumu lebih banyak dari kedua orang tuamu? Beliau menjawab, karena bapakku yang menurunkan aku dari langit ke bumi, sedangkan guruku yang mengangkatku dari bumi ke atas langit."
‎Referensi : Minhajul Muta'allim | Hujjatul Islam al-Ghazali | hal 46
Pic. KH. Abdul Syukur Syah beserta Istri (Pendiri Pondok Pesantren Daarul Khair Kotabumi La.pung Utara). 

Semoga beliau berdua diangkat derajatnya oleh Allah, dan kita mendapatkan barakahnya. Aamiin

Menyederhanakan NU

Menyederhanakan NU Penulis: Edi Saputra, S.PdI.,Gr. Kisruh dan dinamika internal PBNU belakangan ini seperti membuka kembali lem...