Sabtu, 31 Juli 2021

Bantu 2.666 Madrasah, Kemenag Siapkan 399,9 Miliar

Bantu 2.666 Madrasah, Kemenag Siapkan 399,9 Miliar

Kementerian Agama tahun ini menyiapkan anggaran Bantuan Afirmasi Madrasah hingga mencapai Rp399,9 miliar yang diimplementasikan melalui Program Realizing Education’s Promise – Madrasah Education Quality Reform. Anggaran ini rencananya diperuntukkan bagi 2.666 madrasah.

Tahun ini Kemenag siapkan Bantuan Afirmasi Madrasah untuk 2.666 madrasah, masing-masing mendapat Rp150juta. Totalnya mencapai Rp399,9 miliar.

Bantuan tersebut diberikan kepada madrasah yang sudah menerapkan sistem Evaluasi Diri Madrasah (EDM) dan sistem e-RKAM (Rencana Kerja dan Anggaran Madrasah berbasis Elektronik) yang sudah dilatihkan pada 2020 dan mulai diaplikasikan tahun ini.

Bantuan tersebut akan diberikan dalam bentuk uang tunai. Namun demikian, pemanfaatannya harus didasarkan pada kebutuhan mendesak madrasah yang dirumuskan berdasarkan hasil EDM serta sesuai juknis yang ditetapkan.

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah M Isom Yusqi menambahkan, bantuan antara lain bisa digunakan dalam rangka penguatan digitalisasi madrasah. Selain itu juga bisa untuk meningkatkan kualitas sanitasi, dan kebutuhan program lainnya dalam rangka mendukung mutu pembelajaran di madrasah.

Juknis penyaluran bantuan sudah selesai. Insya Allah mulai September bantuan akan mulai didistribusikan,” terangnya.

Pemberian bantuan afirmasi ini belum bisa menyasar ke seluruh madrasah. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran Kementerian Agama.

Kemenag berharap Pemerintah Daerah juga bisa mengalokasikan Dana Alokasi Khusus nya untuk membantu siswa-siswa madrasah yang juga merupakan putera-puteri daerah. Kemenag telah menerapkan sistem e-RKAM sebagai platform e-planning dan e-budgeting madrasah, sehingga akuntabilitas pelaporan bantuan dapat dijamin.

Digitalisasi Madrasah

Program digitalisasi madrasah sudah dilakukan sejak 2019, sebelum pandemi. Sejumlah program yang dilakukan antara lain merevisi juknis relaksasi pemanfaatan dana BOS hingga bisa digunakan untuk menunjang sistem pembelajaran online.

Upaya lainnya adalah memberikan bantuan pengadaan server dan Jaringan Komputer CBT (Computer Based-Test) untuk semua jenjang, baik itu Madrasah Aliyah, Tsanawiyah maupun Ibtidaiyyah.

Anggaran untuk bantuan ini memang tidak banyak, sangat terbatas. Tahun ini kuota penerima bantuan ini sebanyak 200 Madrasah Aliyah, 250 Madrasah Tsanawiyah, dan 100 Madrasah Ibtidaiyah.

Sejak 2019, Kemenag juga memberikan bantuan pembangunan Madrasah Negeri melalui dana SBSN (Surat Berharga Sukuk Nasional). Salah satu pemanfaatan bantuan tersebut adalah untuk menunjang implementasi kelas digital. Sampai tahun ini, bantuan pembangunan madrasah negeri melalui SBSN masih berlangsung.

Sejumlah Program Digitalisasi Madrasah Kemenag:

  1. Program buku digital madrasah. Siswa dapat membaca dan mendownload buku secara gratis melalui laman: https://madrasah2.kemenag.go.id/buku/.
  2. E-learning madrasah. Platform pembelajaran online untuk madrasah yang dibuat oleh siswa madrasah. Saat ini platform e-learning madrasah sedang dikembangkan bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
  3. Bekerjasama dengan Google (Google for Education), menyediakan google classroom, google meet, dan lainnya, serta memberikan storage unlimited kepada guru dan siswa madrasah.
  4. Bantuan Kuota Terjangkau, berupa kuota internet murah untuk guru, siswa dan karyawan madrasah. Bekerjasama dengan empat provider (Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo dan Tri).
  5. Akses gratis pada Platform Pembelajaran Dragonlearn.org. Platform pembelajaran online untuk madrasah hasil kerjasama dengan kedutaan Rusia. Platform pembelajaran ini dapat diakses https://dragonlearn.org/.
  6. Akses gratis 6 bulan sampai dengan Desember 2021 pada Platform Pembelajaran Alef Education sebagai implementasi kerjasama Kementerian Agama dan Alef Education UEA. Platform pembelajaran Alef dapat diakses https://idn.alefed.com.
  7. Penguatan Jaringan Listrik dan Internet untuk daerah 3T. Ini merupakan kerjasama dengan PLN dan Keminfot melalui program BAKTI untuk peningkatan akses internet daerah 3T.
  8. Layanan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) secara online untuk semua madrasah di seluruh Indonesia.
  9. Menggagas Gerakan Madrasah Mandiri Berprestasi untuk menggalang Donasi Smart Phone bekas layak pakai untuk siswa yang tidak memiliki perangkat pembelajaran.

Demikian informasi tentang Bantu 2.666 Madrasah, Kemenag Siapkan 399,9 Miliar semoga bermanfaat.

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau

Jumat, 30 Juli 2021

SK dan Lampiran PIP Tahap II Tahun 2021 khususnya Provinsi Lampung

SK dan Lampiran PIP Tahap II Tahun 2021 khususnya Provinsi Lampung

Pada kesempatan kali ini admin akan bagikan SK dan Lampiran PIP Tahap II Tahun 2021 Propinsi Lampung.

Bahwa dalam rangka melaksanakan Program Indonesia Pintar pada Kementerian Agama, perlu melakukan verifikasi dan validasi sasaran penerima manfaat program tersebut.

Nama-nama sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan merupakan hasil pemadanan elektronik siswa madrasah terhadap Basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas perlu menetapkan Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tentang Penetapan Siswa Madrasah MI dan MTs Penerima Bantuan Sosial Program Indonesia Pintar.

Menetapkan Siswa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah Penerima Bantuan Sosial Program Indonesia Pintar Provinsi Lampung Tahap II Tahun Anggaran 2021 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari surat keputusan yang dikeluarkan.

Tonton disini Lagu Rindu Guru Rindu Peserta Didik

Penyaluran dan pencairan dana Bantuan Sosial Program Indonesia Pintar sebagaimana dimaksud dalam DIKTUM KESATU berpedoman pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Indonesia Pintar untuk Siswa Madrasah Tahun Anggaran 2021.

Segala biaya yang ditimbulkan sebagai akibat dari keputusan ini dibebankan kepada DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun Anggaran 2021.

Untuk SK Jenjang MI, MTs dan MA bisa

1.  MI DOWNLOAD DISINI

2. MTs DOWNLOAD DISINI

3. MA DOWNLOAD DISINI

Untuk Lampiran PIP Jenjang MI, MTs dan MA Provinsi Lampung bisa:

1. MI Download Disini

2. MTs Download Disini

3. MA Download Disini

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau

Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah Tahun 2021


Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah Tahun 2021


 Kepala Madrasah merupakan tenaga kependidikan yang paling strategis dalam peningkatan kualitas pendidikan di madrasah.

Kepala Madrasah diseleksi dari guru yang memiliki pengetahuan teknis tinggi tentang pendidikan, dan telah membuktikan daya inovasi, dan kepemimpinan.

Dalam rangka penjaminan dan peningkatan mutu Kepala Madrasah di Indonesia telah disusun Peraturan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 2017 tentang Kepala Madrasah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2018. Peraturan Menteri Agama tersebut merupakan regulasi yang menjadi pijakan untuk standarisasi dan penjaminan mutu Kepala Madrasah.

Peraturan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 2017 tentang Kepala Madrasah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2018 telah mengatur hal-hal pokok yang meliputi: tugas, fungsi, tanggung jawab, persyaratan, kompetensi, pengangkatan, masa tugas, pemberhentian, hak dan beban kerja, penilaian kinerja, dan pengembangan keprofesian berkelanjutan Kepala Madrasah.

Untuk melaksanaan Peraturan Menteri Agama ini perlu disusun petunjuk teknis untuk menjadi rujukan semua pihak yang melaksanakan Peraturan Menteri Agama ini.

Dalam sistem data guru dan tenaga kependidikan (SIMPATIKA) Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Agama RI tahun 2020, jumlah kepala madrasah dibawah naungan Kementerian Agama sejumlah 36.331, dengan rincian 25.818 Laki-laki dan 10.513 Perempuan.

Mengacu pada data diatas, ada kesenjangan dalam representasi jumlah kepala madrasah laki-laki dan perempuan yang perlu mendapat perhatian.

Sehingga melalui Juknis ini perlu dikembangkan pendekatan gender yakni perbaikan hubungan lelaki-perempuan agar lebih simetris untuk memecahkan masalah ketimpangan kepemimpinan dalam madrasah dengan memberikan peluang yang sama kepada perempuan dalam proses seleksi Kepala Madrasah. Diharapkan dengan pendekatan gender, ada sebuah perbaikan peluang dan relasi antara lelaki dan perempuan dalam kepemimpinan.

Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah ini menjelaskan tata cara pengangkatan Kepala Madrasah yang meliputi:

  1. persyaratan bakal calon Kepala Madrasah
  2. penyiapan calon Kepala Madrasah
  3. pendidikan dan pelatihan calon Kepala Madrasah
  4. pengangkatan, masa tugas, dan pemberhentian Kepala Madrasah.

Juknis ini juga didesain dalam perspektif gender dengan harapan keterlibatan perempuan dalam proses seleksi calon kepala madarsah menjadi lebih terbuka.

Tujuan Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah

Petunjuk Teknis Pengangkatan Kepala Madrasah bertujuan untuk dijadikan sebagai:

  1. Acuan penyelenggaraan pengangkatan Kepala Madrasah di lingkungan Kementerian Agama.
  2. Acuan Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota atau pihak terkait dalam pelaksanaan evaluasi dan penjaminan mutu pengangkatan Kepala Madrasah.
  3. Acuan yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan madrasah yang akan mengangkat Kepala Madrasah.

Sasaran Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah

Sasaran Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah:

  1. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama;
  2. Biro Kepegawaian Kementerian Agama;
  3. Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kementerian Agama;
  4. Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah;
  5. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan serta Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama;
  6. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi;
  7. Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
  8. Yayasan/Lembaga Penyelenggara Pendidikan Madrasah; dan
  9. Guru.

Ruang Lingkup Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah

Ruang lingkup yang diatur dalam Petunjuk Teknis ini adalah:

  1. Persyaratan bakal calon Kepala Madrasah;
  2. Penyiapan calon Kepala Madrasah;
  3. Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Madrasah;
  4. Pengangkatan, masa tugas, dan pemberhentian Kepala Madrasah.

Untuk file lengkap Juknis Pengangkatan Kepala Madrasah Tahun 2021 bisa DOWNLOAD DISINI

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau

Memaknai Arti Berkah

Memaknai Arti Berkah
( Habibina Dr. Salim Segaf Al Jufri )

Barokah atau berkah adalah kondisi yang diinginkan oleh hampir semua hamba yang beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup.

Barokah bukanlah serba cukup dan mencukupi saja, akan tetapi barokah ialah bertambahnya ketaatanmu kepada Allah dengan segala keadaan yang ada, baik  berlimpah atau sebaliknya.

Barokah itu: "...albarokatu tuziidukum fii thoah." Barokah itu menambah taatmu kepada Allah.

Hidup yang barokah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru barokah sebagaimana Nabi Ayyub AS, sakitnya menambah taatnya kepada Allah.

Barokah itu tak selalu panjang umur, ada yang umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Mus'ab ibn Umair.


Tanah yang barokah itu bukan karena subur dan panoramanya indah, karena tanah yang tandus seperti Makkah punya keutamaan di hadapan Allah  ...tiada banding....tiada tara.

Ilmu yang barokah itu bukan yang banyak riwayat dan catatan kakinya, akan tetapi yang barokah ialah yang mampu menjadikan seorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal & berjuang untuk agama Allah.

Penghasilan barokah juga bukan gaji yg besar dan berlimpah, tetapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rejeki bagi yang lainnya dan semakin banyak orang yang terbantu dengan penghasilan tersebut.

Anak-anak yang barokah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar & mempunyai pekerjaan & jabatan hebat, tetapi anak yang barokah ialah yang senantiasa taat kepada Rabb-Nya dan kelak di antara mereka ada yang lebih shalih & tak henti-hentinya mendo'akan kedua Orangtuanya.

Semoga segala aktifitas kita penuh berkah.

Barokallahu fiik

Aamiin yaa Robbal'aalamiin

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau


SUJUD SAHWI

SUJUD SAHWI

 Image

Sujud sahwi itu dilakukan jika ada kekurangan atau kelebihan rakaat salat, atau jika ada salah satu rukun shalat yang tertinggal (karena lupa) seperti misalnya terlupa tasyahud awal. Maka kompensasi d ari lupa ini tergantung pada kasusnya, apakah ia kekurangan rakaat atau kelebihan rakaat? Atau malah lupa sama sekali sudah berapa rakaat? Lalu di sini juga ada persoalan apakah ingatnya (bahwa shalatnya itu salah) terjadi sebelum salam atau sesudah selesai salam, dan jika lupa tasyahud awal apakah ingatnya sebelum sempurna berdiri atau baru setengah berdiri. Namun di sini terjadi perbedaan pendapat para fuqaha.

Namun sebelum itu mari kita lihat hadits dari tiap-tiap kondisi lupa tersebut.

Jika Salah Satu Rukun Shalat Ada Yang Tertinggal

Jika salah satu rukun shalat ada yang tertinggal namun ia tidak salah jumlah rakaatnya, maka ada dua jawaban, ada hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. melakukan sujud sahwi nya itu sesudah salam (sesudah  selesai shalat)

Dari Abdullah Ibnu Buhainah r.a. ia berkata “Rasulullah s.a.w. shalat mengimami kami di antara shalat fardhu, lalu setelah mendapat dua rakaat, beliau berdiri dan tidak duduk, (tasyahud awal) dan orang-orag pun ikut berdiri bersamanya, setelah shalat dan kami menunggu salamnya, (tiba-tiba) beliau takbir sebelum menngucap salam, lalu sujud dua kali (sahwi) sementara beliau dalam keadaan duduk, kemudian mengucapkan salam” (H.R.Bukhai No. 1224)

Abu Isa (Tirmidzi) berkata; “Hadits Ibnu Buhainah derajatnya hasan shahih.

Dari Abdullah Ibnu Buhainah r.a. ia berkata “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w, berdiri setelah mendapat dua rakaat, shalat zhuhur tanpa duduk di antaranya (tasyahud awal) ketika menyelesakan shalatnya, beliau s.a.w. sujud dua kali (sahwi) kemudian mengucapkan salam”  (H.R.Bukhai No. 1225)

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Umar Al Jusyami telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Al Mas’udi dari Ziyad bin ‘Ilaqah dia berkata; ” Al Mughirah bin Syu’bah shalat bersama kami, lalu langsung berdiri di raka’at kedua (lupa tasyahud awal), lantas kami mengucapkan “Subhanallah” dia juga mengucapkan; “Subhanallah” dan dia terus berdiri. Setelah menyempurnakan shalat dan memberi salam, dia sujud sahwi dua kali, seusai shalat dia berkata; “Aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. mengerjakan seperti yang aku kerjakan.”  (H.R. Abu Daud No. 873)

Pada dua hadits di atas terlihat bahwa sujud sahwi dilaksanakan sebelum salam. Namun dalam hadits lainnya diriwayatkan bahwa sujud sahwi dilakukan setelah salam.

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar dan Utsman bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ayyasy dari Ubaidullah bin Ubaid dari Zuhair bin Salim Al ‘Ansi dari ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Sujud sahwi itu sujud dua kali setelah salam. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1209) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. melakukan dua sujud (sahwi)  setelah salam.” (H.R. Tirmidzi No. 360) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Namun diriwayatkan bahwa  Abu Hurairah r.a. dan Abdullah bin As-Sa’ib Al Qari melakukan sujud sahwi sebelum salam

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul A’la dan Abu Dawud keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir dari Muhammad bin Ibrahim bahwa Abu Hurairah dan Abdullah bin As Sa`ib Al Qari` sujud dengan dua kali sujud sebelum salam.” (Atsar.R. Tirmidzi No. 357) Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa seluruh sanadnya shahih namun tidak mengatakan hadits ini shahih. Kemungkinan Al-Albani  keberatan dengan matan (isinya) karena beliau menganggap riwayat yang lebih kuat adalah yang sahwi setelagh salam.

Tirmidzi berkata : Hadits ini diamalkan oleh sebagian ahli ilmu. Dan ini adalah pendapat yang diambil oleh Syafi’i. Ia berpendapat bahwa dua sujud sahwi itu dilakukan sebelum salam. “Hadits ini menghapus hadits-hadits yang lain, dan ia (Tirmidzi) menyebutkan juga bahwa seperti itulah terakhir kali yang dilakukan oleh Nabi s.a.w.. Ahmad dan Ishaq berkata; “Jika seseorang berdiri pada rakaat kedua maka ia harus sujud dua kali sebelum salam berdasarkan hadits Ibnu Buhainah. Dan Abdullah Ibnu Buhainah adalah Abdullah bin Malik. Ia adalah Ibnu Bunainah, ayahnya bernama Malik dan ibunya bernama Buhainah. Seperti inilah Ishaq bin Manshur mengabarkan kepadaku dari Ali bin Abdullah bin Al Madini.”

Apabila Ingat Kekurangan Tasyahud Awal Sebelum Berdiri  Tegak

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin ‘Amru dari Abdullah bin Walid dari Sufyan dari Jabir yaitu Al Ju’fi dia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Mughirah bin Syubail Al Ahmasi dari Qais bin Abu Hazim dari Al Mughirah bin Syu’bah dia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda; “Apabila seorang imam terlanjur berdiri pada raka’at kedua, dan ingat sebelum berdiri tegak, hendaknya ia kembali duduk, dan apabila telah berdiri tegak hendaknya ia tidak duduk dan sujudlah dua kali yaitu sujud sahwi.” (H.R. Abu Daud No. 872)

Sujud Sahwi karena Kelebihan Rakaat

Jika seseorang lupa dan kelebihan rakaat shalat (misal shalat subuh mestinya 2 rakaat jadi 3 rakaat) maka setelah selesai salam, ia harus melakukan sujud sahwi, dengan cara takbir lagi (dalam keadaan duduk) lalu melakukan sujud, lalu bangkit, takbir lagi dan sujud lagi baru salam

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Jabir dari Abdurrahman bin Al Aswad dari Al Aswad dari Abdullah “bahwa Nabi s.a.w. shalat Zhuhur atau Ashar lima rakaat (kelebihan rakaat) kemudian (setelah selesai) sujud sahwi dua kali lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Inilah dua sujud bagi siapa yang ragu dari kalian, apakah ia menambah atau mengurangi.” (H.R. Ahmad No. 3689)

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abdullah An Nahsyali ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Al Aswad dari ayahnya dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah s.a.w. shalat Zhuhur atau Ashar lima rakaat, setelah selesai ditanyakan kepada beliau; Wahai Rasulullah, apakah ada penambahan shalat? Beliau menjawab: “TIdak.” Mereka berkata; Sesungguhnya engkau shalat lima rakaat. Ia berkata; Lalu beliau sujud sahwi dua kali kemudian bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian, aku ingat seperti kalian ingat dan lupa seperti kalian lupa.” (H.R. Ahmad No. 3786)

Sujud Sahwi karena Kekurangan Rakaat

Jika seseorang lupa dan kekurangan rakaat shalat (misal shalat zhuhur 4 rakaat hanya dikerjakan 2 atau 3 rakaat) tentunya ingatnya (bahwa ia kurang rakaat) adalah setelah selesai shalat. Tidak mungkin ingatnya sebelum selesai shalat. Jika ingatnya sebelum selesai shalat ya pasti tidak jadi salah, karena ia segera melengkapi kekurangan rakaatnya sebelum salam.

Namun karena kasus kekurangan rakaat ini pasti ingatnya adalah setelah selesai shalat, maka setelah selesai shalat, ia harus bangkit shalat lagi menambah dulu kekurangan rakaat tadi, setelah itu salam baru melakukan sujud sahwi dengan cara bertakbir lagi melakukan sujud lalu takbir lagi dan sujud lagi baru salam

Rasulullah s.a.w. pernah kekurangan 1 rakaat maka beliau menambah 1 rakaat baru sujud sahwi.

“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi. (HR. Muslim no. 574)

Rasulullah s.a.w. juga pernah pernah kekurangan 2 rakaat maka beliau shalat lagi 2 rakaat baru sujud sahwi.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah s.a.w. shalat petang hari bersama kami yaitu shalat dzuhur atau ashar.” Kata Abu Hurairah; “Ternyata beliau hanya shalat dua raka’at kemudian salam, lalu pergi ke kayu yang melintang di depan masjid sambil meletakkan tangan yang satunya (kanannya) di atas tangannya yang lain, dan terlihat di wajahnya seolah-olah beliau sedang marah, setelah itu orang-orang bergegas keluar (dari masjid) sambil berkata; “Shalat di qashar, shalat di qashar.” Dan di antara orang-orang tersebut terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya merasa segan untuk menanyakan hal itu, maka salah seorang yang di beri nama oleh Rasulullah s.a.w. dengan sebutan Dzul yadain berdiri seraya bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah anda lupa ataukah memang shalat telah di qashar?” beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan tidak pula mengqashar shalat.” Dzul Yadain berkata; “Akan tetapi anda lupa wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah s.a.w. menghadap kepada orang-orang seraya bersabda: “Benarkah apa yang di katakan oleh Dzul Yadain?” para sahabat menjawab (dengan isyarat); “Ya, benar” lalu beliau maju kembali ke tempatnya semula dan menyelesaikan kekurangan (raka’at) yang tertinggal, kemudian salam. Setelah salam beliau bertakbir dan sujud seperti sujud biasa atau agak panjang sedikit lalu mengangkat kepala dan bertakbir, setelah itu beliau bertakbir lagi dan sujud seperti sujud biasa atau agak lama kemudian mengangkat kepala dan bertakbir.” Di tanyakan kepada Muhammad; “Apakah beliau salam dalam (sujud) sahwi?” jawabnya; “aku tidak menghafalnya dari Abu Hurairah, tapi aku diberitahu bahwa Imran bin Hushain berkata; “Kemudian beliau s.a.w. salam…“.  (H.R. Bukhari No. 1152, Abu Daud No. 856)

Ada riwayat hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. cukup menambahkan kekurangan rakaatnya dan tidak sujud yaitu hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Asad telah mengabarkan kepada kami Syababah telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi’b dari Sa’id bin Abu Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w.beranjak pergi setelah selesai dari dua raka’at shalat wajib, maka seorang laki-laki bertanya kepada beliau; “Apakah shalat telah di qashar wahai Rasulullah ataukah anda lupa?” beliau menjawab; “Semua itu tidak aku lakukan.” Maka orang-orang berkata; “Anda telah melakukan hal itu wahai Rasulullah!.” Kemudian beliau mengerjakan dua raka’at yang tertinggal, lalu beliau beranjak pergi tanpa mengerjakan sujud sahwi dua kali.” (H.R. Abu Daud No. 858)(Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih namun ditempat lain mengatakan hadits ini syadz (ganjil). Salah satu perawinya yaitu Syababah bin Sawar oleh Ibnu Hajar Asqolani, Adz-Dzahabi, Ibnu Kharasy dan As-Saji dikatakan bahwa ia tertuduh beraliran murji’ah. Sehingga hadits ini tidak kuat.

Sujud Sahwi Jika Tidak Ingat Sama Sekali Sudah Berapa Rakaat

Dalam kasus tidak ingat telah berapa rakaat maka ia tidak tahu apakah ini kelebihan rakaat atau kekurangan rakaat. Termasuk di sini adalah kasus misalnya ia lupa sama sekali tadi sudah tasyahud awal atau belum, termasuk juga dalam kasus ini misalnya ia lupa salah satu rukun shalat ada yang tertinggal atau tidak. Maka dalam hal ini berlaku kapan Anda mulai menyadari atau mengingatnya? Jika pertanyaan keraguan itu sudah mulai timbul sebelum selesai shalat , maka sujud sahwinya bisa sebelum salam (sebelum shalat disempurnakan).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Ala` telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad Dastuwa`i telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Katsir telah menceritakan kepada kami ‘Iyadl. Dan telah di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hilal bin ‘Iyadl dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian shalat, dan tidak tahu apakah lebih ataukah kurang (raka’atnya) hendaknya ia sujud dua kali ketika masih duduk (tasyahud),  (H.R. Abu Daud No. 868)

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yusuf telah bercerita kepada kami Al Awza’iy dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi s.a.w.bersabda: “Dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia (setan) kembali lagi untuk mengganggu seseorang diantara dirinya dan jiwanya seraya berkata; ingatlah ini dan itu. Hingga orang itu tidak menyadari apakah tiga atau empat raka’at shalat yang sudah dikerjakannya. Apabila dia tidak tahu tiga atau empat raka’at maka sujudlah dua kali sebagai sujud sahwi“. (H.R. Bukhari No. 3043)

Namun jika ingat dan ragunya itu timbul setelah selesai (sempurna) shalatnya (berarti setelah salam) maka sebaiknya ia bangkit dan shalat satu rakaat (karena berjaga-jaga mungkin saja ia kekurangan rakaat) lalu tasyshud dan salam. Setelah itu baru melakukan sujud sahwi (yaitu dua kali sujud lalu salam tanpa tasyahud)

Telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abu An Nadlr mereka berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah bin Abu Salamah dari Zaid bin Aslam dari ‘Atho` bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi s.a.w. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu apakah tiga raka’at atau empat raka’at yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia bangun dan shalat satu raka’at(ditambakan saja) , Yazid berkata; “Agar keraguan itu tertumpu pada jumlah raka’at yang lebih, ” setelah itu hendaklah ia sujud sahwi dua raka’at, jika ia telah melaksanakan lima raka’at, maka sujud tersebut sebagai penyempurna. Dan jika ia melaksanakan empat raka’at, maka hal itu akan menjadikan setan benci.” (H.R Ahmad No. 11367)

Jika Ragu Sudah Berapa Rakaat Maka Ambil Asumsi Yang Terendah

Jika Anda misalnya ragu apakah saat ini saya sudah berada pada rakaat ke tiga atau kedua, maka harus diasumsikan rakaat kedua. Jika ragu apakah saat ini saya sudah berada pada rakaat ke empat atau ketiga , maka harus diasumsikan rakaat ketiga.  Dengan cara ini maka pasti berada pada kelebihan rakaat. Dalilnya ada hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf Ar Raqqi Muhammad bin Ahmad Ash Shaidalani berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dari Muhammad bin Ishaq dari Makhul dari Kuraib dari Ibnu Abbas dari ‘Abdurrahman bin Auf ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian ragu antara dua raka’at atau satu, hendaklah ia jadikan satu raka’at. Jika ragu antara dua raka’at atau tiga, hendaklah ia jadikan dua. Jika ragu antara tiga atau empat, hendaklah ia jadikan tiga. Setelah itu hendaklah ia menyempurnakan kekurangannya (jika memang masih kurang), hingga keraguan itu bertumpu pada sesuatu yang lebih. Kemudian sujud sahwi dua kali dalam keadaan duduk sebelum salam. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1199)

Maka kelebihan shalat ini akan dinilai sebagai shalat sunnah

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dari Ibnu ‘Ajlan dari Zaid bin Aslam dari ‘Atho` bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah s.a.w bersabda: “Jika shalatnya ternyata telah sempurna maka tambahan raka’at itu sebagai nafilah. Namun, jika raka’at shalatnya kurang, maka tambahan itu sebagai penyempurnanya. Dan dua sujud (sahwi) itu akan membuat setan benci. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1200)

Bagaimana Tata Cara Sujud Sahwi Itu?

Sujud sahwi itu dilaksanakan dengan cara mulai takbir dalam keadaan tetap duduk (bukan berdiri) lalu melakukan sujud, dan berdoa seperti doa sujud biasa. Lalu takbir dan bangkit duduk (tanpa berdoa) lalu takbir untuk sujud lagi (untuk kedua kalinya) dan berdoa seperti doa sujud biasa. Lalu takbir lagi untuk bangkit duduk tawaruk seperti tasyahud akhir (tanpa atau dengan berdoa tasyahud) lalu melakukan salam. Hal ini sesuai petunjuk dalam hadits Nabi s.a.w sebagai berikut :

Setelah salam (menyempurnakan shalat) beliau bertakbir (dalam keadaan tetap duduk) dan sujud seperti sujud biasa atau agak panjang sedikit, lalu mengangkat kepala (untuk duduk) dan bertakbir, setelah itu beliau bertakbir lagi dan sujud seperti sujud biasa atau agak lama kemudian mengangkat kepala dan bertakbir.” Kemudian beliau s.a.w. salam…“.  (H.R. Bukhari No. 1152)

Jadi dalam sujud syahwi setiap gerakan didahului takbir baik ketika hendak sujud maupun ketika bangkit dari sujud.

Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal ini dalam kasus kekurangan rakaat), kemudian beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (H.R. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Al A’raj dari Abdullah bin Buhainah Al Asadi sekutu bani Abdul Muthallib, “bahwa Nabi s.a.w. berdiri ketika shalat zhuhur yang seharusnya duduk (tertinggal tasyahud  awal). Maka ketika telah selesai beliau sujud dengan dua kali sujud, beliau bertakbir pada setiap sujud dan duduk sebelum salam.” (H.R. Tirmidzi No. 356) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Apakah Ada Takbiratul Ihrom (Takbir seperti mulai awal shalat)

Dalam hadits-hadits di atas, nampak ada sedikit perbedaan dan kesimpang siuran terkait masalah takbir. Apakah ketika pertama kali mulai sujud sahwi itu ada takbiratul ihrom? Yaitu takbir dengan mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke muka?? Lalu apakah pada saat bangkit duduk itu juga ada takbir.

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud? Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99)

Apakah Ada Tasyahud Lagi Sebelum Salam Pada Sujud Sahwi?

Dalam hadits di atas hanya dijelaskan bahwa setelah dua kai sujud Nabi s.a.w. duduk kemudian salam. Tidak dijelaskan apakah ada tasyahud akhir lagi. Hal ini seolah menunjukkan bahwa beliau s.a.w. hanya duduk dan tidak membaca doa tasyahud lagi dan langsung salam.

Namun dalam riwayat lain diceritakan oleh Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. melakukan sujud sahwi dengan tasyahud lagi sebelum salam.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Al Mutsanna telah menceritakan kepadaku Asy’ats dari Muhammad bin Sirin dari Khalid yaitu Al Khaddza` dari Abu Qilabah dari Abu Al Muhallab dari ‘Imran bin Hushain bahwa Nabi s.a.w. shalat bersama mereka lalu lupa, maka beliau sujud dua kali, lalu tasyahud dan salam.” (H.R. Abu Daud No. 875) Ibnu Hajar Asqolani mengatakan semua perawinya tsiqoh. Sedangkan Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini syadz (aneh) karena dari segi isinya, Al-Albani cenderung berpendapat bahwa sujud sahwi itu setelah salam dan tidak ada tasyahud.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya An Naisaburi berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata; telah mengabarkan kepadaku Asy’ats dari Ibnu Sirin dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Abu Al Muhallab dari Imran bin Hushain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabat kemudian lupa, beliau lalu sujud dengan dua kali sujud. Setelah itu beliau tasyahud dan salam.” (H.R. Tirmidzi No. 361) Tirmidzi berkata hadits ini hasan gharib.

Abu Isa (Tirmidzi berkata) ” Para ahli ilmu berselisih berkenaan dengan tasyahud dalam dua sujud sahwi. Sebagian mereka berkata; “Hendaknya seseorang bertasyahud dalam dua sujud (sujud sahwi) tersebut baru kemudian salam.” Sedangkan yang lainnya berkata; “Pada dua sujud itu tidak ada tasyahud. Namun ada juga yang mengatakan jika ia melakukan sujud tersebut sebelum salam, ia tidak harus bertasyahud.” Ini adalah pendapat yang diambil oleh Ahmad dan Ishaq, keduanya berkata; “Jika seseorang melakukan sujud sahwi sebelum salam maka ia tidak perlu bertasyahud.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, tentu hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dengan dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi s.a.w. melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.” (Majmu’ Fatawa, 23/49)

Apakah Sujud Sahwi Itu Sesudah Atau Sebelum Salam?

Sebagaimana masalah fiqih lainnya kebanyakan terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ada yang berpendapat sebelum salam (sebelum selesai shalat) dan yang lain berpendapat sujud sahwi itu dilaksanakan sesudah salam / sempurna shalat. Namun ada juga yang berpendapat, tergantung yang mana dulu. Jika kelebihan rakaat, maka sebelum salam. Jika kekurangan rakaat maka sesudah salam, karena harus menambah lebih dulu rakaat yang kurang itu.

Abu Isa (Tirmidzi) berkata; “Para ahli ilmu berselisih pendapat kapan seseorang harus sujud sahwi, sebelum salam atau setelahnya. Ada beberapa pendapat :

1.       Sujud Sahwi Itu Setelah Salam (Sebelum disempurnakan shalat) baik kelebihan atau kekurangan rakaat

Abu Isa (Tirmidzi) berkata : Sebagian mereka berpendapat bahwa itu dilakukan setelah salam. Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah (Iraq). Abu Daud berkata; ” Umar bin Abdul Aziz juga pernah memberi fatwa “Dan yang demikian bagi orang yang langsung berdiri dari dua raka’at (lupa dari tasyahud), kemudian dia sujud (sahwi) setelah salam.” Mereka yang berpendapat seperti ini berpegang pada hadits ini :

Dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian merasa ragu ketika shalat, maka hendaklah ia berusaha mendapatkan yang benar, lalu menyempurnakan shalatnya, kemudian mengucapkan salam lalu sujud dua kali (sujud sahwi)”  (H.R. Muslim)

Hadits ini menjadi pegangan madzhab Hanbali yang berpendapat semua sujud sahwi dilakukan setelah shalat selesai atau setelah salam.

2.       Sujud Sahwi Itu Sebelum Salam (Sebelum disempurnakan shalat) baik kelebihan atau kekurangan rakaat

Abu Isa (Tirmidzi) berkata :  Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa itu dilakukan sebelum salam. Pendapat ini banyak diambil oleh para fuqaha Madinah seperti Yahya bin Sa’id, Rabi’ah dan yang lainnya. Pendapat ini juga diambil oleh Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i)

Imam Syafi’I berpegang pada hadits ini :

Dari Abu Sa’id Al-Khuidri r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian merasa ragu ketika shalat, dan tidak mengetahui berapa rakaat ia telah shalat, maka hendaklah ia meninggalkan keraguan itu, kemudian mengambil apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali (sahwi) sebelum salam”  (H.R. Muslim)

Imam Ahmad juga berkata seandainya tidak dinukil riwayat selain itu, maka saya berpendapat semua sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Lebih lanjut Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa hadits riwayat Buhainah r.a.  tidak bisa dijadikan hujjah bahwa semua sujud sahwi dilakukan sebelum salam. (Fathul Bari Jilid 6 Hal 460)

3.       Jika Kelebihan Rakaat, Sujud Sahwi Itu Setelah Salam, dan Jika Kekurangan Rakaat Sebelum Salam

Sebagian ulama mengatakan, “Jika itu berupa tambahan (kelebihan rakaat) maka sujud dilakukan setelah salam, tetapi jika berupa kekurangan rakaat, maka sebelum salam.” Pendapat ini diambil oleh Malik bin Anas (Madhzab Maliki).

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan : Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Bukhari bermaksud membedakan antara yang pengurangan (kurang rakaat) dan penambahan (kelebihan rakaat) Apabila mengurangi apa yang ada dalam shalat, maka sujud sahwi  sebelum salam. Sedangkan apabila lupanya dalam bentuk penambahan (rakaat) maka sahwinya sesudah salam. Pendapat yang membedakan dua kondisi ini adalah pendapat Malik, Al-Muzani, Ibnu Tsaur dan Syafi’I (Fathul Bari Jilid 6 Hal 469)

4.       Sujud Sahwi Itu Sebelum Salam Jika Lupa Tasyahud (Atau rukun lain), Namun Rakaatnya Benar. Sedangkan Jika Rakaatnya kelebihan atau kekurangan, sujud sahwinya  Setelah Salam

Pendapat ini diambil oleh Imam Ahmad (Madzhab Hambali) berkata; “Hadits itu diamalkan sesuai dengan kasus yang menyertainya. Jika seseorang berdiri pada rakaat kedua (tanpa tasyahud awal) sebagaimana hadits Ibnu Buhainah maka ia sujud sahwi sebelum salam. Jika ia shalat zhuhur lima rakaat (kelebihan rakaat) maka ia sujud dua kali setelah salam. Dan jika ia salam di rakaat kedua pada shalat zhuhur atau asar (kekurangan rakaat) maka ia sujud setelah salam. Setiap itu dilakukan sesuai dengan kasusnya. Dan setiap (Nabi s.a.w) lupa, tidak pernah disebutkan riwayat dari Nabi s.a.w bahwa dua sujud sahwi itu dilakukan sebelum salam.

Pendapat ini disetujui oleh Imam Ishaq yang juga mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, bahwa  “Dan setiap (Nabi s.a.w) lupa tidak pernah disebutkan riwayat dari Nabi s.a.w., jika itu berupa tambahan (kelebihan rakaat) dalam shalat maka ia sujud sebelum salam, namun jika kurang dalam rakaat,  maka ia sujud sebelum salam (Jadi membantah pendapat madzhab Maliki)

Namun Imam Nawawi mengatakan bahwa yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat Imam Malik.

  1. Sujud Sahwi Itu Sesudah Salam Jika Kekurangan Rakaat, Sedangkan Jika Rakaatnya kelebihan, sujud sahwinya  Setelah Salam. Dan ketika ragu-ragu berapa rakaat maka sujud sahwinya setelah salam.

Al-Khatabi berkata mereka yang membedakan sujud sahwi antara penambahan (kelebihan rakaat) dan pengurangan (kekuranan rakaat) adalah tidak benar. Dalam kisah Zul Yadain, disebutkan sujud sahwi dilakukan sesudah shalat (sesudah salam) padahal itu dalam kasus kekurangan rakaat.

Pendapat ini dianggap lebih kuat oleh ulama Saudi seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud , Syaikh Utsaimin dll. Mereka mengatakan : “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Namun  jika orang memilih keraguan yang ia yakini lebih kuat (ragu tentang jumlah rakaatnya),maka yang lebih afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam”. (. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129)

Apakah Takbirnya Itu Berdiri Atau Duduk?

Takbir pada sujud sahwi dilakukan dalam posisi duduk dan bukan dalam posisi berdiri

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihab dari Al A’raj dari ‘Abdullah Ibnu Buhainah Al Asadiy sekutunya suku ‘Abdul Muthalib bahwa “Rasulullah s.a.w.mendirikan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah Beliau menyempurnakan shalatnya, Beliau sujud dua kali, dan Beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk sebelum memberi salam) “. (H.R. Bukhari No. 1154)

Apakah Bacaan Doa Sujud Sahwi?

Bacaan doa pada sujud syahwi adalah sama seperti sujud pada shalat fardhu dan shalat lainnya yaitu ada dua alternatif doa ketika sujud :

Subhaana robbiyal a’laa” (Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi) (H.R. Muslim No. 772)

Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummaghfirli.” (Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku) (H.R. Bukhari No. 817 dan Muslim No. 484)

Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy  ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

Kesimpulan :

Sujud sahwi jelas dilaksanakan pada kasus tertinggalnya salah satu rukun shalat karena lupa, kelebihan rakaat, kekurangan rakaat atau lupa sudah berapa rakaat (tidak tahu kelebihan atau kekurangan). Maka sujud sahwi dilaksanakan dengan dua kali sujud, dan takbir pada setiap sebelum sujud. Dan doa sujud sahwi itu sama dengan doa pada shalat biasa. Inilah hal yang tidak ada perbedaan diantara para fuqaha.

Namun para fuqaha )ahli fiqih) dan imam madzhab berbeda pendapat tentang apakah dalam sujud sahwi itu ada tasyahud atau tidak, lalu apakah sujud sahwi itu sebelum salam atau sesudah salam

Shidiq Hasan Khan berkata, “Hadits-hadits yang tegas menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan sujud sahwi dilakukann sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi s.a.w.  Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (bukan wajib)” (Ar-Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H)

Jadi  Silakan memilih pendapat mana yang lebih kuat atau lebih mudah atau lebih logis menurut Anda.

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau

SHALAT JAHRIYAH DAN SIRRIYAH

SHALAT JAHRIYAH DAN SIRRIYAH

Image

Shalat jahriyah adalah shalat yang bacaannya dikeraskan sedangkan shalat sirriyah adalah shalat yang bacaannya dipelankan. Ruang lingkup dan batasan pembahasan masalah jahriyah dan sirriyah ini adalah sebagai berikut :

  1. Yang dimaksud dengan bacaan di sini bukan semua bacaan dalam shalat melainkan adalah bacaan Al-Fatihah dan surat Al-Qur’an sesudah Al-Fatihah.
  2. Maksud dikeraskan bacaan atau dipelankan yang dibahas di sini adalah pada dua rakaat pertama, sedangkan untuk rakaat berikutnya (jika shalatnya lebih dari 2 rakaat) tidak masuk dalam pembahasan karena selalu dipelankan.
  3.  Maksud dari dikeraskan bacaan atau dipelankan di sini adalah untuk imam ketika memimpin shalat berjamaah. Sedangkan untuk shalat munfarid (sendirian) maka boleh dikeraskan boleh dipelankan. Namun walaupun shalat sendirian disunnahkan untuk tetap mengeraskan bacaan pada shalat jahriyah dan memelankan pada shalat sirriyah.
  4. Shalat jahriyah tetap jahriyah dan shalat sirriyah tetap sirriyah walaupun dilaksanakan di waktu qodho (bukan pada waktunya karena tertidur atau terlupa). Jadi yang menjadi patokan bukan waktu nya (bukan pula gelap dan terangnya matahari atau cuaca).
  5. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai dua hal di atas. Sedangkan untuk beberapa hal lainnya seperti bacaan “bismillah” dan ucapan “amin” setelah selesai membaca Al-Fatihah, serta doa qunut ada perbedaan pendapat dalam mengeraskan atau memelankannya.
  6. Tidak ada perbedaan pendapat antara para imam madzhab mengenai shalat fardhu yang jahriyah dan yang siriyah. Shalat-shalat yang dikeraskan bacaannya (jahriyah) pada shalat fardhu yaitu shalat subuh, maghrib dan isya. Sedangkan shalat yang dipelankan bacaannya pada shalat fardhu adalah shalat dzuhur dan ashar termasuk shalat jum’at.
  7. Timbul perbedaan dalam menetapkan shalat sunnah yang jahriyah dan sirriyah

Shalat Yang Jahriyah dan Shalat Yang Sirriyah ?

Tidak ada perbedaan pendapat antara para imam madzhab mengenai shalat fardhu yang jahriyah dan yang siriyah. Shalat-shalat yang dikeraskan bacaannya (jahriyah) pada shalat fardhu yaitu shalat subuh, maghrib dan isya.  Sedangkan shalat yang dipelankan bacaannya pada shalat fardhu adalah shalat dzuhur dan ashar termasuk shalat jum’at.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari ‘Umarah dari Abu Ma’mar berkata, “Aku bertanya kepada Khabbab bin Al Arat, ‘Apakah Rasulullah s.a.w. membaca surah dalam shalat Zhuhur dan ‘Ashar? ‘ Dia menjawab, “Ya.” Kami tanyakan lagi, “Bagaimana kalian bisa mengetahui bacaan Beliau?” Dia menjawab, “Dari gerakan jenggot Beliau.” (H.R. Bukhari No. 719)

Pada hadits di atas dapat kita lihat bahwa dalam shalat dzuhur dan ashar, Rasululullah s.a.w. tidak mengeraskan bacaannya terbukti bahwa sahabat mengetahui beliau membaca sesuatu atau tidak dari gerakan jenggot dan bukan dari suara beliau. Ini menunjukkan shalat dzuhur dan ashar adalah sirriyah.

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Hisyam bin Ammar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Az Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Ibunya -Abu Bakr bin Abu Syaibah mengatakan bahwa ia adalah Lubabah- bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w. dalam shalat maghrib membaca WAL MURSALAATI ‘URFA. ” (H.R. Ibnu Majah No. 823) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat marghrib menunjukkan bahwa shalat maghrib itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Mis’ar berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Adi bin Tsabit bahwa dia mendengan Al Bara berkata, “Aku mendengar Nabi s.a.w. membaca ‘WAT TIINI WAZ ZAITUUN’ pada shalat ‘Isya. Dan belum pernah aku mendengar seseorang yang suaranya atau bacaan lebih baik dari beliau.” (H.R.  Bukhari No. 727)

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat isya menunjukkan bahwa shalat isya itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Syarik dan Sufyan bin Uyainah dari Ziyad bin Ilaqah dari Qutaibah bin Malik ia mendengar Nabi s.a.w. dalam shalat subuh membaca; ” (dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun). ” (H.R. Ibnu Majah No. 808)

Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Al Mas’udi dari Al Walid bin Sari’ dari ‘Amru bin Huraits, bahwa ia mendengar Rasulullah s.a.w. pada shalat Subuh membaca: IDZASY SYAMSU KUWWIRAT kemudian setelah sampai pada ayat WALLAILI IDZAA ‘AS’AS (H.R. Darimi No. 1266)

Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca Rasulullah s.a.w pada saat shalat subuh menunjukkan bahwa shalat subuh itu dikeraskan bacannya (jahriyah).

Jahriyah dan Sirriyah Pada Shalat Sunnah

Adapun untuk shalat-shalat sunnah ada perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab.

Madzhab Hanafi berpendapat wajib membaca dengan suara keras bagi imam ketika shalat taraweh dan witir di bulan ramadhan, ‘idul fitri, ‘idul adha. Sedangkan pada shalat rawatib, shalat gerhana matahari, istisqo dan shalat sunnah lain yang dilakukan siang hari, madzhab Hanafi menyatakan wajib bagi imam maupun munfarid (shalat sendirian) untuk memelankan bacaan (sirriyah).

Madzhab Maliki berpendapat sunnah membaca dengan keras pada setiap shalat  sunnah yang dilaksanakan malam hari dan membaca pelan pada shalat sunnah yang dilaksanakan suang hari, kecuali shalat-shalat sunnah yang diikuti dengan khutbah seperti shalat ‘idul fitri, ‘idul adha, dan shalat istisqo. Maka untuk shalat sunnah rawatib, shalat gerhana matahari, dhuha, shalat tahiyatul majid, shalat syukur wudlu, shalat jenazah  dan shalat-shalat sunnah lain yang dilakukan ketika siang hari disunnahkan dilakukan secara sirriyah.

Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) berpendapat sunnah mengeraskan suara saat shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, shalat istisqo, shalat gerhana matahari, taraweh dan witir di bulan ramadhan. Adapun shalat sunnah lainnya walupun dilaksanakan secara berjamaah disunnahkan membaca dengan suara pelan. Sedangkan orang yang shalat munfarid boleh memilih jahriyah atau sirriyah.

Madzhab Syafi’i berpendapat disunnahkan membaca dengan suara keras (jahriyah) pada shalat ‘idul fitri, ‘idul adha, gerhana bulan, istisqo, tarawih dan witir di bulan ramadhan dan shalat sunnah dua rakaat setelah tawaf dan shalat sunnah lain yang dilaksanakan di waktu malam maupun subuh. Sedangkan shalat sunnah lainnya dibaca dengan suara pelan (sirriyah) misal shalat dhuha, shalat gerhana matahari, shalat hajat, shalat tahiyatul masjid, shalat syukur wudlu, shalat jenazah, shalat tasbih dll.

Dari pendapat para imam madzhab di atas ada sedikit tinjauan terhadap pendapat Imam Hanafi ini dimana ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaan dalam shalat istisqo :

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi’b dari Az Zuhri dari ‘Abbad bin Tamim dari Pamannya berkata, “Nabi s.a.w. pernah keluar untuk melaksanakan shalat istisqa’, beliau lalu berdoa dengan menghadap ke arah kiblat sambil membalikkan kain selendangnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya pada kedua rakaat itu.” (H.R. Bukhari No. 968)

Catatan : Imam Hanafi sendiri memandang shalat istisqo itu tidak ada. Apa yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dulu ketika memohon datangnya hujan dianggap sebagai shalat hajat yang disertai dengan permohonan datanganya hujan, Namun beliau adalah generasi tabi’in (generasi setelah sahabat) sehingga kita menghormati pandangan dan pendapat beliau sebagai generasi yang masih dekat dengan mata air ilmu dari Rasulullah s.a.w.

Dan begitu pula dalam shalat gerhana Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaannya. Namun di sini ada perbedaan penafsiran apakah keseluruhan shalat gerhana? Sedangkan ada yang berpendapat shalat gerhana matahari dipelankan sedangkan shalat gerhana bulan dikeraskan

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Namir, dia mendengar Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah r.ah.  “Nabi s.a.w. mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana”.  (H.R. Bukhari No. 1004)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Aban telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Shadaqah dari Sufyan bin Husain dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwasannya Nabi s.a.w. shalat gerhana matahari dengan mengeraskan bacaannya. (H.R. Tirmidzi No. 516)

Telah menceritakan kepada kami Abdush Shomad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Katsir berkata; Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya dia berkata : “Pada masa Nabi s.a.w.. pernah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi s.a.w.. mendatangi tempat shalat, kemudian beliau bertakbir dan manusia pun (ikut) bertakbir, lalu beliau membaca dan mengeraskan bacaannya.” (H.R. Ahmad No. 23333)

Pada hadits di atas, Rasulullah s.a.w. tetap mengeraskan bacaannya (jahriyah) pada peristiwa shalat gerhana matahari walaupun dilaksanakan siang hari. Maka pendapat madzhab Maliki yang menyatakan bahwa jahriyah dan sirriyah pada shalat sunnah itu adalah mengikuti keadaan waktu siang atau malam, tidaklah tepat. Demikian pula shalat gerhana tidak diikuti dengan khutbah walaupun kadang Rasulullah s.a.w. sedikit memberikan tausiyah mengenai peristiwa gerhana tersebut. Namun shalatnya tetap dikeraskan (jahriyah).

Sedangkan pendapat bahwa jika shalat sendiri tetap mengeraskan bacaan jika shalatnya adalah shalah jahriyah berdasarkan penafsiran shahabat berikut ini :

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’, bahwa apabila Abdullah bin Umar tertinggal dari imam pada beberapa rakaat yang dikeraskan bacaannya, maka ketika imam salam, dia berdiri dan membaca sendiri pada rakaat yang tertinggal dengan membacanya agak keras.” (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 166)

Pada atsar di atas Abdullah bin Umar melanjutkan rakaatnya sendirian namun tetap membacanya dengan keras (jahriyah) karena shalatnya memang shalat jahriyah.

Masalah Jahriyah Sirriyah Sunnah Atau Wajib?

Imam Malik, Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa masalah men-jahr-kan (mengeras) kan bacaan atau memelankan bacaan adalah perkara sunnah. Artinya jika mengeraskan bacaan yang seharusnya sirriyah atau memelankan bacaan yang seharusnya jahriyah adalah tidak mengapa dan shalatnya tetap sah.

Dalam beberapa hadits kita jumpai bahwa terkadang dalam shalat dzuhur atau ashar yang seharusnya dipelankan.

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Qatadah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Bapakku bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan dua surat pada dua rakaat pertama shalat Zhuhur dan Ashar. Kadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami dan memperpanjang rakaat pertama. (H.R. Nasa’i No. 965)

Dalam hadits di atas menunjukkan sekali waktu (kadang-kadang) bacaan dalam shalat Dzuhur dan Ashar pun boleh dikeraskan oleh Rasulullah s.a.w.

Dalam hadits lain juga diceritakan bahwa dalam shalaty dzuhur Rasulullah s.a.w.mengeraskan bacaan shalat dan menegur sahabat lain yang ikut membaca dengan suara keras karena menyaingi dengan suara imam

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid Ath Thayalisi telah menceritakan kepada kami Syu’bah. Dan telah di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir Al ‘Abdi telah mengabarkan kepada kami Syu’bah sedangkan ma’na haditsnya dari Qatadah dari Zurarah dari ‘Imran bin Hushain bahwa Nabi s.a.w. menunaikan shalat Dluhur, tiba-tiba seorang laki-laki datang sambil membaca “Sabbihisma rabbikal a’la.” di belakang beliau, ketika selesai shalat, beliau bersabda: “Siapakah tadi yang membaca (surat)?” para sahabat menjawab; “Laki-laki ini.” beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui, bahwa sebagian dari kalian telah mengalahkan bacaanku.” (H.R. Abu Daud No. 704) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih.

Sementara ketika shalat sunnah rawatib di malam hari Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaannya terbukti para sahabat mengetahui surat apa yang dibaca Rasulullah s.a.w.

Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin Bahdalah dari Zir dan Abu Wa`il dari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Nabi s.a.w. selalu membaca di dua rakaat setelah maghrib QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN (Katakanlah: “Hai orang-orang kafir) dan QUL HUWA ALLAHU AHAD (Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). ” (H.R. Ibnu Majah No. 1156)

Sedangkan dalam hadits lain disebutkan bahwa dalam shalat malam Rasulullah s.a.w. terkadang mengeraskan dan terkadang memelankan bacaan :

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim bin Shudran dia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Salm bin Qutaibah dia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin Al Barid dari Abu Ishaq dari Abu Bara’ dia berkata; “Kami shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian kami mendengar satu ayat setelah beberapa ayat dari surat Luqman dan Adzariyat.”Demikian pula dalam shalat sunnah, terkadang Rasulullah s.a.w. mengeraskan bacaan dan terkadang memelankan bacaan dan ini adalah sebuah kelapangan (keluwesan) dalam Islam sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah r.ah. istri Rasulullah s.a.w.  (H.R. Nasa’i No. 961)

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Abu Qais dia berkata : “Saya bertanya kepada ‘Aisyah, bagaimanakah bacaan Nabi s.a.w. pada waktu shalat malam, apakah beliau memelankan ataukah mengeraskan bacaannya? Dia menjawab, itu semua pernah dilakukan oleh beliau, terkadang beliau memelankan bacaannya dan terkadang pula beliau mengeraskan bacaannya. Saya (Abu Qais) berkata, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kelapangan dalam perkara ini. (H.R. Tirmidzi No. 411) Abu Isa berkata, bahwa hadits ini hasan shahih gharib. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Dari hadits di atas Imam al-Nawawi menjelaskan : “Dan adapun sabda Nabi saw : ‘Dan ayat yang beliau baca itu kadang-kadang beliau memperdengarkan kepada kami‘, ini bisa jadi bahwasanya Nabi SAW bermaksud untuk memberikan penjelasan atas diperbolehkannya bacaan keras (jahriyah) diwaktu shalat yang seharusnya pelan (sirriyah), dan bahwa bacaan pelan itu bukan syarat sahnya shalat, namun itu hukumnya sunnah.” (Syarah Muslim Jilid 4 hal 175)

Ibnu Hajar Asqolani menjelaskan hadits dai Abu Bara’ di atas berkata : “hadits di atas dijadikan dalil dibolehkannya mengeraskan baaan pada shalat yang sirriyah dan tidak diperintahkan sujud sahwi bagi yang melakukannya (berarti hal itu bukan sebuah kesalahan) hal ini berbeda dengan pendapat Madzhab Hanafi yang menjelaskan kebolehannya (mengeraskan shalat sirriyah) hanya jika untuk tujuan memberikan pengajaran dan juga bagi yang berpendapat bahwa memelankan bacaan adalah syarat sahnya shalat sirriyah” (Fathul Bari Jilid 4 hal. 484)

Bahkan dalam suatu hadits Rasulullah s.a.w. mengkritik orang yang shalat di waktu malam dengan mengeraskan bacaannya karena beliau tahu orang tersebut melakukannya karena riya’ (pamer ingin dipuji karena bacaannya bagus) tapi Rasulullah s.a.w. memuji orang lain yang melakukannya karena ikhlash

Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin Sa’d dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Al Adra’ ia berkata : “ Pada suatu malam, saya pernah menjaga Nabi s.a.w. . kemudian beliau pun keluar untuk suatu keperluan. Beliau menggandeng tanganku dan kami pun pergi. Kemudian kami melewati seorang laki-laki yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan Alqur`annya, maka Nabi s.a.w.  bersabda: “Boleh jadi ia melakukannya karena riya`.” Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia shalat dengan mengeraskan bacaan Al-Qur`annya?(karena memang shalat jahriyah)” Beliau pun melepaskan tanganku kemudian bersabda: “Kalian tidak akan meraih Islam ini dengan cara mendebatku (karena beliau lebih tahu apa yang terjadi).” Pada suatu malam, beliau keluar lagi untuk suatu keperluan. Saat itu, saya sedang menjaganya. Beliau kemudian menggandeng tanganku kemudian pergi dan melewati seorang laki-laki yang sedang shalat dengan membaca Al Qur`an, dan saya pun berkata, “Boleh jadi ia melakukannya karena riya`.” Kemudian Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak, bahkan ia adalah seorang yang banyak bertaubat dan kembali kepada Allah.” Saya menolehnya, dan ternyata ia adalah Abdullah Dzul Bijadain.” (H.R. Ahmad No. 18203)

Dengan kata lain, hadits di atas mengatakan bahwa suatu ketika mengeraskan  bacaan pada shalat yang jahriyah bisa jadi adalah terlarang atau dibenci jika dilakukan karena riya’ (pamer).

Shalat Jahriyah Untuk Wanita

Imam Syafi’i berpendapat wanita yang shalat jahriyah (jika jadi imam bagi wanita) tetap bersuara keras jika tidak ada jamaah laki-laki di dekatnya,  walaupun demikian keras suaranya harus di bawah suara laki-laki (tidak sekeras laki-laki).

Shalat Jahriyah Dan Sirriyah Ketika Safar

Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa mengenai bacaan imam sewaktu safar tidak ada perincian mengenai hal ini (yaitu apakah tetap jahriyah dan sirriyah). Namun dalam sebuah hadits nampaknya ada isyarat bahwa dalam keadaan safar pun kondisi shalat jahriyah dan sirriyah tetap diberlakukan :

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Adi berkata, “Aku mendengar Al Bara’, bahwa Nabi s.a.w. ketika safar (bepergian) pada shalat ‘Isya membaca pada salah satu dari dua rakaatnya dengan ‘WAT TIINI WAZ ZAITUUN’.” (H.R. Bukhari No. 725)

Sahabat mengetahui apa surat yang dibaca menunjukkan bahwa shalat tersebut dikeraskan bacaannya.

Mengapa Ada Yang Jahriyah Dan Ada Yang Sirriyah

Jika ditanya kenapa? Bisa saja kita mencari hikmah.. seperti mencari hikmah gerakan shalat. Kita juga bisa mencari hikmah kenapa babi diharamkan.. namun itu semua bersifat zhonniy (dugaan) manusia dan tidak mutlak kebenarannya walaupun juga tidak mutlak salah. Artinya masing-masing orang bisa berpendapat berbeda. Maka tidak ada keterangan yang pasti mengapa shalat ini dan itu dilakukan secarajahriyah dan yang lain sirriyah kecuakku hak itu semata perintah dari Allah kepada beliau s.a.w. sedangkan kita mengikuti Rasulullah s.a.w. karena dikatakan bahwa beliau adalah suri teladan yang terbaik. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam hadits berikut :

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Nabi s.a.w. membaca (dengan suara dikeraskan) sesuai apa yang diperintahkan dan juga diam (tidak mengeraskan) sesuai apa yang diperintahkan ‘(Dan tidaklah Rabbmu lupa) ‘ (Q.S. Maryam: 64). ‘(Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu) ‘ (Q.S. Al-Ahzab: 21). (H.R. Bukhari No. 732)

Maka yang terbaik adalah menerima apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w. walaupun hal itu tidak merupakan kewajiban dan tidak mengapa jika ditinggalkan

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abi Laila dari ‘Atha` dari Abu Hurairah, dia berkata : “Rasulullah s.a.w. mengimami kami dalam shalat, kadang beliau mengeraskan bacaan dan kadang tanpa suara, maka kami mengeraskan apa yang Rasulullah keraskan dan kami baca tanpa suara apa-apa yang Rasulullah baca tanpa suara “ (H.R. Ahmad No. 7730)

Wallahua”lam

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau

Kamis, 29 Juli 2021

Panduan Shalat Rebo Wekasan ( Shalat Tolak Bala' ) menurut Kiai Jamal

Panduan Shalat Rebo Wekasan ( Shalat Tolak Bala' ) menurut Kiai Jamal

Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, KH Muhammad Djamaluddin Ahmad memberikan amalan Rebo Wekasan yakni berupa shalat.

Hal ini disampaikannya saat pengajian rutinan Al-Hikam di hadapan ribuan jamaah di Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum beberapa waktu berselang.

"Besok adalah malam Rebo Wekasan yaitu malam Rabu terakhir (wekasan) di bulan Shafar. Sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah dalam Kitab Kanzun Najah Was-Suraar fi Fadail al-Azmina Wasy-Syuhaar, Imam Abdul Hmiid Quds, Mufti, dan Imam Masjidil Haram Makkah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rebo yang terakhir di bulan Shafar. Maka dianjurkan hari itu shalat 4 rakaat dengan 2 salam," katanya, Senin (5/11/2018).

Kiai Jamal menjelaskan, shalat yang dilakukan tersebut diniati dengan shalat mutlak. Pada setiap rakaat dalam shalat tersebut membaca al-Fatihah sekali, surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat al-Ikhlas lima kali, al-Falaq sekali dan an-Nas sekali.

"Kemudian setelah salam membaca doa dan shalatnya tidak berjamaah. Tapi dilakukan bersama-sama di lokasi yang sama pula," jelasnya.

Tradisi Rebo Wekasan sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain. Bentuk ritual Rebo Wekasan umumnya dilakukan dengan shalat, berdoa dengan doa-doa khusus, selamatan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (W.1151 H) dalam kitab Fathul Malik al-Majid al-Mu-Allaf li Naf'il 'Abid wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid (biasa disebut Mujarrabat ad-Dairabi).

Anjuran serupa juga terdapat pada kitab al-Jawahir al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin al-'Atthar (W. 970 H), Hasyiyah as-Sittin, dan sebagainya.

Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar ke-25 NU di Surabaya (20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlak.

"Shalatnya bisa di pagi (dluha) atau habis shalat Maghrib," pungkas Kiai Jamal, sapaan akrabnya.

Sumber: https://jatim.nu.or.id

Semoga bermanfaat dan semoga selalu diberikan kemudahan  segala urusan Aamiin...

Jangan Lupa juga gabung digroup

WhatsApp #1 Klik disini

WhatsApp #2

Telegram #1 Klik disini

Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau


Silaturahmi Daerah – 1Kader Penggerak NU Se-Lampung Barat

Silaturahmi Daerah – 1Kader Penggerak NU Se-Lampung Barat Minggu 27 Oktober 2024 yayasanarraihanbelalau.blogspot.com - Kader Pen...