Panduan Shalat Rebo Wekasan ( Shalat Tolak Bala' ) menurut Kiai Jamal
Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, KH Muhammad Djamaluddin Ahmad memberikan amalan Rebo Wekasan yakni berupa shalat.
Hal ini disampaikannya saat pengajian rutinan Al-Hikam di hadapan ribuan jamaah di Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum beberapa waktu berselang.
"Besok adalah malam Rebo Wekasan yaitu malam Rabu terakhir (wekasan) di bulan Shafar. Sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah dalam Kitab Kanzun Najah Was-Suraar fi Fadail al-Azmina Wasy-Syuhaar, Imam Abdul Hmiid Quds, Mufti, dan Imam Masjidil Haram Makkah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rebo yang terakhir di bulan Shafar. Maka dianjurkan hari itu shalat 4 rakaat dengan 2 salam," katanya, Senin (5/11/2018).
Kiai Jamal menjelaskan, shalat yang dilakukan tersebut diniati dengan shalat mutlak. Pada setiap rakaat dalam shalat tersebut membaca al-Fatihah sekali, surat al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat al-Ikhlas lima kali, al-Falaq sekali dan an-Nas sekali.
"Kemudian setelah salam membaca doa dan shalatnya tidak berjamaah. Tapi dilakukan bersama-sama di lokasi yang sama pula," jelasnya.
Tradisi Rebo Wekasan sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain. Bentuk ritual Rebo Wekasan umumnya dilakukan dengan shalat, berdoa dengan doa-doa khusus, selamatan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama.
Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (W.1151 H) dalam kitab Fathul Malik al-Majid al-Mu-Allaf li Naf'il 'Abid wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid (biasa disebut Mujarrabat ad-Dairabi).
Anjuran serupa juga terdapat pada kitab al-Jawahir al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin al-'Atthar (W. 970 H), Hasyiyah as-Sittin, dan sebagainya.
Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar ke-25 NU di Surabaya (20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlak.
"Shalatnya bisa di pagi (dluha) atau habis shalat Maghrib," pungkas Kiai Jamal, sapaan akrabnya.
Sumber: https://jatim.nu.or.id
Jangan Lupa juga gabung digroup
WhatsApp #1 Klik disini
WhatsApp #2
Telegram #1 Klik disini
Mohon Klik LIKE, SHARE AND SUBSCRIBE Untuk Chanel Youtube silahkan kunjungi di Edi Saputra, S.PdI Yayasan Arraihan Belalau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar