Senin, 31 Maret 2025

Syarat Menjadi Imam dalam Shalat

Syarat Menjadi Imam dalam Shalat



Menurut Imam Syafi'i Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, merujuk suatu kaum yang datang bersama-sama sehingga tampaknya kualitas bacaan dan kefakihan mereka sama. 

Karena itulah Imam Syafi’i memerintahkan menunjuk pemimpin atau imam sholat yang paling tua di antara mereka yang dengan senioritasnya itu dapat menjadi yang paling tepat untuk memimpin mereka. 

Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila suatu kaum berkumpul di suatu tempat tanpa ada wali di antara mereka, hendaklah menunjuk imam sholat berdasarkan beberapa syarat. 

Syarat menjadi imam sholat menurut Imam Syafi’i antara lain:

1. Yang paling baik bacaan Al Qur'an-nya

Pada zaman ini, tak jarang kita temui di beberapa masjid besar perkotaan yang menjadi imam salat adalah para penghafal Al-Qur’an yang bersuara merdu, tanpa memerhatikan apakah seorang imam pandai fikih atau tidak dan dengan tanpa memandang umur, selama ia hafal Al-Qur’an dan memiliki suara yang merdu maka ia akan dipilih untuk menjadi imam salat di masjid tersebut. Padahal,  di dalam memilih imam salat ada beberapa kriteria-kriteria tertentu yang perlu diperhatikan.

Namun, ketika di dalam memilih imam salat dan masing-masing dari kedua calon imam memiliki kredibilitas tertentu, yang satu ahli fikih dan yang satunya lagi penghafal Al-Qur’an, maka siapakah yang didahulukan untuk menjadi imam salat? Rasulullah Saw dalam hadisnya bersabda :

وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ كِلَاهُمَا، عَنْ أَبِي خَالِدٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ : حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ، عَنْ أَوْسِ بْنِ ضَمْعَجٍ، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. [رواه مسلم]

           Rasulullah SAW bersabda: “Yang mengimami suatu kaum, hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (Al-Quran) nya. Jika di antara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya dalam Sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam. Dalam riwayat lain disebutkan “Yang paling tua usianya. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. (HR.Muslim No: 673).


2. Paling Faqih

Fiqhu (الفِقْهُ) dalam bahasa Arab artinya الفهم (pemahaman). Oleh karena itu maksudnya tafaqquh fiddin yaitu berusaha memahami agama ini diatas Ilmu /bashirah.

‘Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah pernah berkata:

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak daripada kebaikan yang didapatkan.”

Oleh karena itu beramal harus di atas ilmu.

 Sebagaimana telah kita jelaskan bahwasanya amal tidak bisa diterima kecuali kalau amal tersebut ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Demikian juga telah kita jelaskan bahwa amal itu tidak bisa diterima kecuali sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesuai dengan petunjuk, sesuai dengan amalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak mungkin seorang mengetahui amalannya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali dengan ilmu. Maka dia harus menuntut ilmu agar dia tahu amalannya sesuai dengan sunnah atau tidak. 

Sehingga amalannya bisa diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

( Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr Hafizhahumullahu Ta’ala).


3. Paling tua usianya

Kriteria pemilihan imam yaitu Paling tua usianya berdasarkan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ( مكان سِلمًا ) سِنًّا

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu).


Jika semua sifat itu tidak didapatkan pada seorang pun dari mereka, yang harus mereka pilih adalah orang yang paling fakih, jika orang tersebut memiliki kemampuan membaca yang cukup bagi sahnya sholat.

Lebih baik lagi jika menunjuk orang yang paling bagus bacaannya di antara orang-orang paling paham fiqih.

Imam Syafi'i mengatakan, menunjuk orang yang memiliki kedua sifat tersebut lebih baik daripada memilih orang yang lebih tua. Sebab dulunya para imam masuk Islam ketika sudah tua sehingga mereka menguasai fiqih sebelum bacaan Al Qur'an mereka bagus, generasi setelahnya justru sudah belajar Al Qur'an sejak belia sehingga banyak dari mereka yang lebih menguasai hal tersebut. 

Oleh sebab itu, Imam Syafi’i berpendapat, ketika ada seseorang yang menguasai fiqih lalu dia mampu membaca sebagian dari Al Qur'an dengan baik, dialah yang berhak menjadi imam sholat.

Writed by Edi Saputra, S.Pd.I 
(Ahli Pertama Guru Fiqh)


MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH ( Kitab Al-Jawaahir al-Bukhaari, Iqna Li Assyarbiiny I/230 )

MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH



MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH, karena mereka bukan termasuk golongan delapan walaupun sabiilillah sebab yang dimaksud dengan sabilillah adalah orang-orang yang perang dengan cuma-cuma demi agama Allah.

Namun demikian terdapat pendapat bahwa mereka juga termasuk fisabiilillah.
والسابع سبيل الله تعالى وهو غاز ذكر متطوع بالجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

Yang ke tujuh SABILILLAAH Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah, maka ia diberi meskipun ia kaya raya sebagai bantuan untuk biaya perangnya. 

“SABIILILLAH” Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah meskipun ia kaya raya. Dan masuk dalam kategori sabiilillah adalah para pencari ilmu syar’i, pembela kebenaran, pencari keadilan, penegak kebenaran, penasehat, pengajar, penyebar agama yang lurus. 

Writed by EDI SAPUTRA, S.Pd.I

REFERENSI 
[ al-Jawaahir al-Bukhaari, Iqna Li Assyarbiiny I/230 ]

Wallahu a'lam 🙏

Memahami pembahasan tentang Definisi Fisabilillah dalam Kitab Pesantren

Bismillahirrahmanirrahim...

Memahami pembahasan tentang Definisi Fisabilillah dalam Kitab Pesantren
By Edi Saputra, S.Pd.I


Definisi Fisabilillah dalam Kitab-Kitab Kuning 

Pendahuluan

Fisabilillah adalah salah satu dari delapan golongan penerima zakat sebagaimana disebutkan dalam Surah At-Taubah: 60. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan siapa yang termasuk dalam kategori ini. Mayoritas ulama terdahulu mendefinisikannya sebagai para mujahid yang tidak memiliki gaji tetap, sementara sebagian ulama memperluas cakupannya hingga mencakup para penuntut ilmu dan guru ngaji.

Berikut adalah penjelasan dari beberapa kitab klasik dalam madzhab Syafi’i.
---
1. Tafsir Jalalain

Dalam Tafsir Jalalain, ketika menafsirkan Surah At-Taubah: 60, disebutkan:

> وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ (وفي سبيل الله) الغزاة

Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah (fisabilillah), yaitu para mujahid (pejuang) yang berperang di jalan Allah."

Dari sini dapat dipahami bahwa dalam tafsir ini, fisabilillah merujuk khusus kepada para pejuang di medan jihad.
---

2. Fathul Qarib

Dalam Fathul Qarib, kitab fiqih Syafi’iyyah tingkat dasar, disebutkan:

> وفي سبيل الله وهم الغزاة المتطوعون للجهاد إذا لم يكن لهم مرتب
Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah, mereka adalah para mujahid (pejuang) yang berperang secara sukarela jika mereka tidak memiliki gaji tetap."

Definisi ini masih mempersempit makna fisabilillah hanya kepada para pejuang yang tidak digaji oleh negara.
---
3. Hasyiyah Al-Bajuri

Dalam Hasyiyah Al-Bajuri, dijelaskan lebih lanjut:

> وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُمْ الْغُزَاةُ الَّذِينَ لَا مُرَتَّبَ لَهُمْ، وَأُخِذَ مِنْهُ أَنَّ مَنْ كَانَ لَهُ مُرَتَّبٌ لَا يُعْطَى مِنَ الزَّكَاةِ
Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah, mereka adalah para mujahid yang tidak memiliki gaji tetap. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memiliki gaji tetap tidak boleh diberi zakat."
---
4. Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah
Dalam Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah, disebutkan:
> وفي سبيل الله وهم الغزاة الذين لا مرتب لهم من بيت المال
Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah, mereka adalah para mujahid yang tidak memiliki gaji dari Baitul Mal."
---
5. Hasyiyah Al-Jamal
Dalam Hasyiyah Al-Jamal ‘ala Al-Minhaj, dijelaskan:
> وفي سبيل الله وهم الغزاة الذين لا راتب لهم من بيت المال، وَخَرَجَ بِذَلِكَ مَنْ لَهُ مُرَتَّبٌ يَكْفِيهِ فَلَا يُعْطَى مِنْهَا
Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah, mereka adalah para mujahid yang tidak memiliki gaji dari Baitul Mal. Maka dari sini dikecualikan orang yang memiliki gaji yang mencukupinya, maka ia tidak boleh diberi zakat dari bagian ini."
---
6. Tuhfatul Muhtaj
Dalam Tuhfatul Muhtaj, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:

> (وفي سبيل الله) أي القائمين بجهاد الكفار تطوعًا بحيث لا مراتب لهم من بيت المال
Terjemah:
"Dan (orang-orang yang berhak menerima zakat) di jalan Allah, yaitu mereka yang berperang melawan orang kafir secara sukarela, dengan syarat mereka tidak memiliki gaji dari Baitul Mal."
---
7. Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Al-Khatib
Imam Al-Bujairimi menyebutkan bahwa fisabilillah bisa mencakup orang-orang yang belajar ilmu agama:

> وقوله: وفي سبيل الله أي القائمين بجهاد الكفار تطوعًا بحيث لا مراتب لهم من بيت المال، وقيل يدخل فيه طلبة العلم
Terjemah:
"Dan firman Allah ‘di jalan Allah’, yaitu mereka yang berperang melawan orang kafir secara sukarela, dengan syarat mereka tidak memiliki gaji tetap dari Baitul Mal. Dan dikatakan bahwa ini juga mencakup para penuntut ilmu."
---
8. Fatawa Al-Ramli (Imam Syihabuddin Ar-Ramli)
Imam Ar-Ramli dalam fatwanya menyatakan:

> ويجوز الصرف إلى طلبة العلم الشرعي إذا أفرغوا أنفسهم له، ولم يكن لهم ما يكفيهم
Terjemah:
"Diperbolehkan memberikan zakat kepada para penuntut ilmu syar’i jika mereka sepenuhnya menyibukkan diri dalam ilmu dan tidak memiliki harta yang mencukupi."
---
Kesimpulan
Dari berbagai kitab di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Mayoritas ulama klasik mendefinisikan fisabilillah sebagai para mujahid yang tidak memiliki gaji tetap.

2. Beberapa ulama memperluas cakupan fisabilillah hingga mencakup para penuntut ilmu syar’i.

3. Kiyai atau Guru ngaji yang mengajarkan ilmu agama dan tidak memiliki penghasilan tetap dapat dimasukkan dalam kategori fisabilillah, berdasarkan qiyas dengan penuntut ilmu dalam pendapat ulama seperti Imam Al-Bujairimi dan Imam Ar-Ramli.

Dengan demikian, pendistribusian zakat kepada guru ngaji yang memenuhi syarat (tidak memiliki penghasilan tetap yang mencukupi) dapat dianggap sah menurut sebagian ulama.
---
Penutup
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi umat Islam dalam memahami fiqih zakat, khususnya dalam menentukan siapa yang berhak menerima zakat dalam kategori fisabilillah. Jika ada koreksi atau tambahan dari para asatidz dan ulama, kami sangat terbuka untuk menerima masukan demi kesempurnaan ilmu ini.

Wallahu alam.

MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH

MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH



MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH, karena mereka bukan termasuk golongan delapan walaupun sabiilillah sebab yang dimaksud dengan sabilillah adalah orang-orang yang perang dengan cuma-cuma demi agama Allah.

Namun demikian terdapat pendapat bahwa mereka juga termasuk fisabiilillah.
والسابع سبيل الله تعالى وهو غاز ذكر متطوع بالجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

Yang ke tujuh SABILILLAAH Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah, maka ia diberi meskipun ia kaya raya sebagai bantuan untuk biaya perangnya. 

“SABIILILLAH” Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah meskipun ia kaya raya. Dan masuk dalam kategori sabiilillah adalah para pencari ilmu syar’i, pembela kebenaran, pencari keadilan, penegak kebenaran, penasehat, pengajar, penyebar agama yang lurus. 

Writed by EDI SAPUTRA, S.Pd.I

REFERENSI 
[ al-Jawaahir al-Bukhaari, Iqna Li Assyarbiiny I/230 ]

Wallahu a'lam 🙏

Fiqih Qurban (6): Pembagian Daging Qurban

Fiqih Qurban (6): Pembagian Daging Qurban Oleh Edi Saputra, S.Pd.I Hewan yang telah diqurbankan, pembagiaannya sangat diharapkan...